Poltak Partogi Nainggolan
Research professor politik, keamanan, dan hubungan internasional di Puslit Badan Keahlian DPR
Metamorfosis terorisme memang lebih lambat daripada dunia industri dan transportasi yang telah mencapai 4.0 dan 5.0. Namun dampak terorisme terhadap human cost jauh begitu tinggi. Mengapa?
Pertama, para pemimpin dunia keliru menerjemahkan ancaman terorisme seolah berakhir dengan telah direbutnya kembali wilayah-wilayah yang diduduki Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Irak dan Suriah. Mereka terlalu dini menyatakan "misi telah selesai" karena ISIS tidak bergantung pada gerakan tamkin, yang mengandalkan penguasaan teritorial.
Kedua, ISIS kini memiliki kemampuan bergerak yang fleksibel tanpa dibatasi wilayah. Mereka juga memiliki pola operasi tamzin, didukung derasnya globalisasi dan kemajuan teknologi, dengan penggunaan teknologi informasi canggih. Gawai dan media sosial menjadi alat perang yang ampuh untuk konsolidasi kekuatan dan mendukung gelar operasi selanjutnya yang kian sulit dilacak. Ketiga, korban sekali serang dalam sehari jauh lebih banyak daripada serangan terorisme di basis pendudukan ISIS. Keempat, serangan bisa ditargetkan bukan di negara mayoritas di luar muslim atau Kristen.
Kelima, pelakunya "orang sekolahan" yang menikmati pendidikan di mancanegara. Keenam, alasan, justifikasi, dan kaitannya tidak selalu dengan agama, tapi bisa juga soal ras, seperti dalam kasus di Selandia Baru.
Ketujuh, setelah pelaku tunggal (lonewolf), sel-sel tidur teroris kian sering melahirkan pelaku pasangan suami-istri, melibatkan anak-anak, dari sebuah keluarga batih, setelah sebelumnya hanya kakak-adik.
Kedelapan, aksi ini begitu mudah dieksekusi kelompok lokal yang belum berpengalaman karena telah terjadi proses berbagi informasi secara online. Serangan di Sri Lanka, misalnya, dilakukan oleh kelompok lokal Jamaah Tauhid Nasional (NTJ) yang berafiliasi ke ISIS. Sedangkan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) telah mempersiapkan serangan di tengah aksi demonstrasi yang menentang rekapitulasi suara hasil Pemilihan Umum 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum.
Terorisme 3.0 jauh berbeda dengan terorisme 2.0, yang muncul setelah runtuhnya Tembok Berlin pada November 1991, yang ditandai dengan munculnya Al-Qaidah, Al-Shabab, dan Boko Haram sebagai teroris tamkin. Di kalangan tamkin, Usamah bin Ladin muncul sebagai pemimpin dan simbol perlawanan yang mengontrol wilayah tertentu tapi memiliki jangkauan internasional. Di sini, berbagai kepentingan dan fasilitas Amerika Serikat, termasuk kedutaan besar, pangkalan militer, serta kapal perang, menjadi sasaran.
Aksi terorisme lalu masuk ke wilayah Amerika, yang jauh dari Timur Tengah, tempat kelompok-kelompok teroris 2.0 dilahirkan. Target serangan sejak semula dianggap remeh oleh analis ancaman di Amerika, termasuk Dewan Keamanan Nasional dan Badan Intelijen Pusat (CIA), karena posisi geografis Amerika sulit dicapai dari samudra mana pun. Serangan 11 September 2001 oleh Al-Qaidah membuktikan sebaliknya.
Teroris 3.0 jauh lebih canggih dibanding teroris 2.0 yang muncul pada dasawarsa 1980, yang ditandai dengan kebangkitan Baader Meinhof di Jerman, Brigade Merah di Italia, Sendero Luminoso di Peru, dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Baader Meinhof berkolaborasi dengan PLO dalam penyanderaan atlet Olimpiade Israel di Muenchen, Jerman, dan pembajakan Lufthansa ke Entebbe, Uganda.
Teroris 3.0 lebih tersebar secara global karena operasi mereka fleksibel, sehingga menyulitkan respons pencegahan dan penangkalan dini (pre-emptive strike) negara sasaran. Sifat serangan mereka mematikan karena kemampuan membuat bom secara mandiri jauh lebih hebat.
Teroris 3.0 mempunyai organisasi dan cara kerja berjejaring yang inovatif. Mereka bergerak dalam sel-sel kecil yang terpisah tapi terkoneksi lewat gawai dengan kemampuan komunikasi digital yang tinggi. Tidak adanya lagi dominasi dan kontrol atas teknologi canggih sangat membantu munculnya ancaman terorisme 3.0. Maraknya radikalisme dan intoleransi memberi bahan bakar yang cukup bagi kemunculan aksi-aksi mereka secara manifes, dari semula berwujud sel tidur.
Jadi, tidak tepat antisipasi Al-Chaidar pada 2018, yang melihat ISIS di Indonesia lebih bergantung pada strategi tamkin, hanya karena melihat kasus Santoso dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso. Pada kenyataannya, modus operandi teroris di Jawa Timur pada 13-14 Mei 2018 oleh pengikut JAD mirip dengan apa yang dilakukan di Kolombo, Sri Lanka, dan juga sebelumnya di Jolo, Filipina, pada 27 Januari 2019. Aksi bom bunuh diri mereka melibatkan pasangan suami-istri dan anak-anak mereka.
Untuk mencegah dan meredam terorisme di masa depan, para pemimpin dan organisasi internasional, termasuk PBB, seharusnya meningkatkan kerja sama intelijen. Ini tidak terbatas pada Interpol saja, tapi juga melibatkan publik dan swasta (Stavridis, 2019).