Mouliza K. Donna Sweinstani
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
Istilah people power pertama kali digaungkan oleh politikus senior Amien Rais untuk membakar "gairah" massa yang menilai telah terjadi kecurangan dan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilihan presiden 2019. Sebagai respons atas hasil rekapitulasi suara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum pada 21 Mei dinihari, massa berunjuk rasa menolak hasil itu di depan kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum pada 22 Mei lalu.
Istilah people power sebetulnya bukan fenomena baru dalam sejarah Indonesia. Pada 1966 dan 1998, gerakan massa juga mencuat dengan mengkritik pemerintah secara tajam hingga menuntut jatuhnya rezim. Di tingkat internasional, istilah itu sering kali diidentikkan dengan Revolusi Epifanio de los Santos Avenue (EDSA), nama sebuah jalan di Metro Manila, Filipina. Ini merupakan demonstrasi massal tanpa kekerasan selama empat hari pada 1986 untuk mengakhiri rezim otoriter Presiden Ferdinand Marcos. Bentuk people power juga dapat dilihat dari gerakan masyarakat di Iran pada 1977, gerakan pro-demokrasi Burma 1988, Cina 1989, hingga Musim Semi Arab 2011.
Apakah aksi massa pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta dapat dikatakan sebagai people power? Sejatinya, people power merupakan gerakan sosial nirkekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai protes atas kondisi suatu pemerintahan. Gerakan ini umumnya dilakukan dalam sebuah rezim pemerintahan non-demokratis, yang dalam beberapa hal mempengaruhi perubahan rezim pemerintah, yang berbeda dengan perspektif sejarah dan gerakan dalam konteks yang sama (Carter, 2013; Schock, 2005).
Ciri lain people power adalah penggerak utama gerakan ini, yaitu masyarakat. Masyarakat sebagai aktor kunci dalam gerakan ini bukan bagian dari subordinasi pihak/pelopor bersenjata. Inisiasi gerakan murni merupakan wujud ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim.
Apakah gerakan yang memprotes hasil rekapitulasi suara nasional KPU dapat digolongkan sebagai people power? Dilihat dari latar belakangnya, memang benar gerakan ini dipantik oleh ketidakpuasan beberapa pihak atas penyelenggaraan pemilihan umum. Tapi gerakan ini justru diinisiasi oleh elite politik pendukung salah satu kontestan pemilu.
Dari tujuan akhir gerakan, people power di Filipina tidak hanya mempermasalahkan mekanisme elektoral, tapi juga dilakukan untuk menggulingkan rezim Marcos yang dinilai tidak demokratis. Penggulingan rezim non-demokratis tampaknya menjadi kata kunci lain dari maksud dan tujuan people power.
Di Indonesia, pada 1966 dan 1998 cukup jelas terlihat bahwa kerumunan massa bertujuan untuk menggulingkan rezim Sukarno dan Soeharto yang dinilai tidak demokratis. Tujuan yang demikian belum tampak dalam people power tahun ini.
Jadi, people power pada 22 Mei itu tidak ubahnya upaya mobilisasi massa melalui narasi provokatif dan agitatif yang diserukan sejumlah elite politik, agamawan, hingga kalangan intelektual. Sifat gerakan ini juga cenderung lebih parsial dibandingkan dengan gerakan sebelumnya.
Gesekan sosial ini sebetulnya dapat diantisipasi bila penyebabnya dikenali. Ada beberapa penyebab mudahnya terjadi gesekan sosial dalam penyelenggaraan pemilu. Pertama, meredupnya fungsi partai politik. Partai seharusnya bertanggung jawab dalam sosialisasi dan pendidikan politik serta pengatur konflik. Sayangnya, partai hanya berfokus pada kepentingan elektoral dan tidak menjalankan fungsi pendidikan politiknya. Apalagi bila partai justru menjadi penyebab terjadinya konflik, ia malah menarik masyarakat dalam pusaran konflik tersebut.
Kedua, personifikasi politik. Ketika partai gagal membina kader untuk menjadi pemimpin, yang muncul justru ketokohan seseorang yang berujung pada pengkultusan individu.
Ketiga, fanatisme pragmatis pendukung terhadap suatu kubu. Para pendukung itu tidak menerima nilai-nilai lain yang mungkin berbeda dengan nilai sosok yang diagungkan. Kondisi ini dapat mendorong polarisasi masyarakat, yang sayangnya tidak didasari pertimbangan rasional dan ideologi tertentu.
Keempat, politik identitas menguat. Dalam konotasi positif, identitas diperlukan untuk mendulang suara. Namun, jika identitas dipolitisasi, yang terjadi justru pengkotak-kotakan masyarakat menjadi kami lawan mereka.
Kelima, penurunan kepercayaan terhadap institusi demokrasi. Dalam kasus gerakan 22 Mei, misalnya, demonstran menunjukkan sikap tidak percaya kepada KPU sebagai pihak yang memiliki legitimasi untuk menetapkan hasil pemilu dan Mahkamah Konstitusi sebagai pihak yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilu.
Apa yang terjadi di Indonesia pada 22 Mei sesungguhnya dapat diantisipasi jika masing-masing pihak menyadari isu elektoral sangat terbatas pada kepentingan lima tahunan. Partai politik perlu turun tangan. Bila tidak dapat terlibat sebagai institusi demokrasi, setidaknya elite partai dapat mengajak para pendukung fanatiknya untuk bersiap menjadi warga negara dengan kedewasaan berpolitik.