JIKA ingin tahu seberapa buruk dampak birokrasi pemerintah yang kacau, kita harus menengok harga bawang putih dalam tiga pekan terakhir. Awal pekan lalu, harga bawang impor ini menyentuh angka tertinggi sebesar Rp 100 ribu per kilogram di pasar tradisional, menurut catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis. Tahun lalu, pada tanggal dan bulan yang sama, harga bawang putih menjelang Ramadan maksimal Rp 35 ribu.
Birokrasilah yang membuat harga bawang putih naik gila-gilaan. Rapat kabinet tiga bulan lalu sudah hendak mengantisipasi kebiasaan inflasi beberapa komoditas menjelang Ramadan. Salah satunya bawang putih. Presiden Joko Widodo menugasi Badan Urusan Logistik mengimpor bawang putih agar stok cukup kendati masyarakat menimbunnya selama puasa ini.
Masalahnya, Bulog tak bisa mendatangkan bawang putih dari luar negeri jika belum ada izin dari Kementerian Perdagangan. Kendati sudah diperintahkan rapat tertinggi di eksekutif negeri ini, Kementerian Perdagangan hingga hari ini belum menerbitkan izin impor itu. Tanpa dokumen tersebut, Bulog tak bisa mendatangkannya.
Perseteruan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Kepala Bulog Budi Waseso alias Buwas dalam urusan impor beras agaknya berbuntut panjang. Akhir tahun lalu, Menteri Enggar berkeras akan mengimpor beras dari Vietnam, sementara Buwas menolaknya karena menganggap stok masih cukup. Ribut-ribut ini dipertontonkan secara terbuka di media umum dengan maki-makian yang tak pantas diucapkan pejabat publik.
Selain itu, Kementerian Perdagangan tak terlalu yakin Bulog punya koneksi dengan penjual bawang putih di Cina dan negara-negara lain mengingat selama ini pengimpor bawang putih adalah para pengusaha. Indikasi ketidakpercayaan kepada Bulog di bawah Buwas adalah surat izin persetujuan impor bulan Mei diberikan kepada 11 importir untuk mendatangkan 125 ribu ton bawang putih. Pemberian izin impor ini dikeluarkan setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian Pertanian.
Bagi Kementerian Pertanian, izin impor diberikan kepada sejumlah perusahaan itu karena mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 tentang rekomendasi impor produk hortikultura. Di sana ada kewajiban importir menanam 5 persen komoditas yang mereka datangkan.
Indonesia harus mengimpor bawang putih karena produk lokal hanya bisa memasok 5 persen dari 600 ribu ton konsumsi per tahun. Senyampang mengimpor, pemerintah punya ide “brilian” dengan memberikan kewajiban tanam bagi para importir itu agar suatu hari kelak impor bisa dikurangi bahkan tergantikan oleh produk lokal. Ide brilian yang ganjil.
Importir adalah perusahaan yang keahliannya mendatangkan barang, bukan menanam komoditas. Tahun lalu, bibit bawang putih impor malah dijual ke pasar untuk dikonsumsi. Kewajiban menanam 5 persen itu hanya pemaksaan yang salah sasaran. Lagi pula bawang putih bukan komoditas yang cocok untuk tanah tropis Indonesia. Jika kita memang perlu terus-menerus mengimpor bawang putih, serahkan saja kepada mekanisme pasar, sehingga harganya otomatis akan murah.
Mismanajemen birokrasi dan permainan tak elok yang kerap terjadi di balik impor bawang putih harus dihentikan. Presiden Joko Widodo, apa boleh buat, lagi-lagi harus menyentil para pembantunya yang tak berkoordinasi melaksanakan keputusannya. Jangan sampai birokrasimenurut Leon Trotsky seperti raksasa yang lambanmenghambat kebijakan yang berimbas pada hajat hidup orang banyak.