D. Danarka Sasangka
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya, Yogyakarta
Isu antikorupsi menjadi salah satu isu populer selama masa kandidasi Pemilihan Umum 2019. Kita bisa melihatnya dari bagaimana isu ini dikemas sedemikian menarik melalui keragaman skema argumentasi, pertimbangan etik, hingga struktur dialog yang merepresentasikan arah ideologi para penuturnya.
Di satu sisi, tentu saja fenomena ini menjadi satu gejala politik yang patut disyukuri. Namun tampaknya kita juga perlu lebih sensitif untuk menangkap kecenderungan yang tidak cukup produktif. Wacana antikorupi seakan-akan masih terisolasi dalam pengandaian korupsi sebagai sebuah peristiwa hukum atau peristiwa politis "sesaat". Para penutur terkesan masih mewacanakan korupsi sebatas sebagai a rotten apple (Punch, 2003), sebiji "apel" yang bisa disisihkan begitu saja dari apel lain atau wadah yang menaunginya. Wacana-wacana tersebut sepertinya belum menyinggung persoalan sistemik yang berada di sekitarnya.
Kecenderungan tersebut salah satunya dapat kita lihat dalam wacana normatif yang dilantunkan dua kandidat presiden selama masa kampanye. Di permukaan, kita mendapat kesan bahwa wacana yang mereka lantunkan berbeda tajam secara ideologis karena kontroversi perspektif etik yang mereka pilih. Satu kandidat memakai perspektif utilitarian, yang terkesan memberikan toleransi kepada para koruptor asalkan sebagian dana negara dapat kembali. Kandidat lain memakai perspektif etik, seakan-akan zero tolerance (tanpa toleransi) yang lebih kaku.
Namun, kalau kita telusuri lebih jauh, wacana keduanya memiliki kemiripan, untuk tidak menunjukkan mata rantai identifikasi sistemik atas sebab dan proyeksi atas akibat dari korupsi secara lebih panjang. Keduanya seolah-olah lebih sibuk untuk menunjukkan posisi ideologis mereka sebagai dua kubu yang berkontestasi. Padahal, identifikasi sebab dan proyeksi akibat adalah dua variabel penting yang selanjutnya menjadi basis rasionalisasi dan pertimbangan-pertimbangan konkret dari kebijakan-kebijakan yang ditawarkan.
Kecenderungan yang sama juga terbaca dalam wacana-wacana reaktif publik yang mengikutinya. Ulasan tentang sebab-akibat seakan-akan tidak lebih penting dibanding perbedaan ideologi yang dipertentangkan satu dengan yang lain. Di sinilah sekali lagi metafora Punch menjadi relevan. Wacana antikorupsi seolah-olah tidak menyentuh ihwal kemungkinan "kerusakan wadah buahnya", apalagi "kebun buah yang rusak". Di sini, narasi "wadah rusak" atau bahkan "kebun apel yang dipenuhi ulat" adalah narasi metaforis untuk melacak sebab dan akibat korupsi secara lebih sistemik.
Secara spontan kita akan memaklumi bahwa tidak komprehensifnya wacana yang dituturkan adalah konsekuensi dari basa-basi politik proses kandidasi. Namun, seandainya kita mengembalikan cara pandang kita pada pengandaian bahwa wacana korupsi juga menjadi potret bagaimana publik negeri ini merekonstruksi korupsi, tentu terabaikannya narasi "sebab-akibat" korupsi dan relasi sistemiknya dengan lingkungan di sekitarnya merupakan satu kecenderungan yang tidak cukup menggembirakan.
Merefleksikan wacana tentang korupsi adalah bagian dari usaha membangun imajinasi tentang masa depan kita sebagai sebuah bangsa. Tentu amat disayangkan kalau dalam momen strategis, seperti masa kandidasi yang baru saja kita lewati, kita hanya terpukau dan terpaku pada pertentangan ideologis. Memang, mengikuti konsep legendaris sub-universe of meaning yang pernah dilontarkan Berger dan Luckman (1966), sifat alamiah konstruksi sosial tentang korupsi adalah relatif dan ideologis. Dalam hal ini, bagaimana korupsi diartikan akan sangat bergantung pada preferensi nilai para penuturnya. Meskipun demikian, sifat dasar ini tidak boleh begitu saja menjadi pembenaran. Ketika kita terjebak dalam pertentangan ideologis di dalamnya, wacana korupsi tidak akan pernah menjadi wacana yang produktif.
Untuk itu, sudah saatnya momen-momen publik yang potensial berikutnya diberdayakan secara optimal sebagai ruang strategis untuk berwacana bersama tentang korupsi secara lebih komprehensif dengan pertentangan ideologis yang lebih terkontrol. Belajar dari wacana korupsi selama tahun kandidasi lalu, tentu saja kita berharap agar jangan sampai wacana korupsi selanjutnya hanya menjadi bagian dari basa-basi politik.