Eddi Elison
Pengamat Sepak Bola Nasional
Ketika Edy Rahmayadi mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PSSI pada 20 Januari 2018, ada yang berpendapat seharusnya Exco PSSI segera merencanakan program untuk melangsungkan kongres luar biasa (KLB). Namun rencana KLB itu tenggelam oleh ramainya berbagai kegiatan dan kompetisi, persiapan tim nasional, dan lain-lain.
Keinginan menyelenggarakan KLB kemudian berembus kencang setelah kepolisian, melalui Satuan Tugas Anti-Mafia Bola, membongkar kasus pengaturan skor, lalu menangkap dan menahan 15 "orang" PSSI. Bahkan Wakil Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, yang ditunjuk Edy Rahmayadi sebagai pelaksana tugas Ketua Umum PSSI, ikut terlibat dan kini sedang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pengurus PSSI sama sekali tidak menanggapi desakan tentang penyelenggaraan KLB, malah "repot" mencari pengganti Joko dengan mengangkat pelaksana tugas Ketua Umum PSSI baru, yakni Gusti Randa, anggota Exco. Gusti tak lama memegang jabatan itu. Dia kemudian digantikan oleh Wakil Ketua Umum PSSI, Iwan Budianto. Hal ini membuktikan bahwa pengurus PSSI telah melakukan kekeliruan prosedur atau tata krama dengan memilih Iwan, yang diputuskan Kongres berada di bawah garis kepengurusan Joko.
Meskipun Iwan telah "dinobatkan" sebagai pelaksana tugas Ketua Umum, rupanya Gusti dan kawan-kawan memprediksi tidak mustahil Iwan juga akan mengalami nasib seperti Joko dalam perkara mafia bola mengingat pengalaman mantan pengurus Arema FC itu. Hal ini bahkan pernah dia akui sendiri. Ketika diangkat sebagai Ketua Umum PSSI pada 2016, Edy Rahmayadi memperkenalkan Iwan sebagai wakilnya dan menyatakan Iwan pernah terkait dengan "pertengkulakan skor". Saat itu, Iwan juga mengakuinya tapi menyebut dirinya sudah tobat.
Sejumlah anggota PSSI kemudian meminta PSSI segera menggelar KLB. Mereka antara lain Persatuan Sepak Bola Indonesia Semarang, Persatuan Sepak Bola Sleman, Persatuan Sepak Bola Indonesia Jepara, Persatuan Sepak Bola Ngawi, dan Asosiasi Provinsi PSSI DIY. Bahkan Sekretaris Jenderal Persatuan Sepak Bola Indonesia Solo, Dedi M. Lawe, telah menyiapkan dua pertiga dari 108 pemilik suara. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pun sudah meminta: "Segera laksanakan KLB."
Namun rupanya banyak anggota pengurus yang masih senang "ngendok di kandang" PSSI. Dengan alasan menunggu restu Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) yang belum bersedia memproses KLB, Kongres itu pun belum bisa digelar. Petunjuk FIFA biasanya diperlukan dalam pembentukan Komisi Pemilih dan Komisi Banding.
Alasan soal "restu" ini bisa dianggap "lucu" karena dalam Pasal 30 Statuta PSSI tentang KLB, tidak ada satu kata pun tentang "restu". Ayat 2 jelas menyebutkan: "Exco harus melaksanakan KLB jika 50 persen anggota PSSI atau dua pertiga dari jumlah delegasi membuat permohonan tertulis. Permintaan ini harus mencantumkan agenda yang akan dibicarakan. KLB harus diadakan dalam waktu tiga bulan setelah diterimanya permintaan tersebut. Apabila KLB tidak diadakan, anggota yang memintanya dapat mengadakan Kongres sendiri. Sebagai usaha terakhir, anggota bisa meminta bantuan FIFA." Artinya, setelah terkumpul surat permintaan dua pertiga voter, barulah PSSI melapor, dan kalau perlu meminta petunjuk dari FIFA.
FIFA pada era Gianni Infantino berbeda dengan FIFA saat dikomandoi Sepp Blatter dalam hal pemberian otonomi penuh kepada negara anggotanya. Setiap negara diberi kebebasan untuk melaksanakan programnya asalkan tidak melanggar peraturan FIFA. PSSI memerlukan izin FIFA jika kondisi persepakbolaan mengalami kendala seperti yang dialami Indonesia pada 2015. Saat itu, pemerintah tidak mengakui kepengurusan PSSI akibat turbulensi di tubuh induk organisasi sepak bola Indonesia tersebut. FIFA pun terpaksa membekukan kepengurusan PSSI.
Ada kabar pengurus PSSI akan membentuk Komisi Pemilihan dan Komisi Banding pada Juli mendatang dan KLB dilaksanakan pada Januari 2020. Sungguh tidak masuk akal. Apakah Komisi memerlukan waktu begitu lama untuk persiapan KLB?
Alasan percepatan penyelenggaraan KLB akan mengganggu kompetisi dan persiapan tim nasional juga bisa ditepis. Pelaksana kompetisi Liga 1 dan 2 bukan PSSI, melainkan operator PT Liga Indonesia Baru. PSSI hanya menyediakan Komisi Disiplin dan Komisi Banding. Adapun ihwal tim nasional, tim itu baru akan beraksi dalam SEA Games di Manila pada Desember nanti.
Dengan kata lain, tampaknya pengurus PSSI masih ingin terus bertahan. Padahal, setelah terbongkarnya "bisnis gol" dalam PSSI, komunitas persepakbolaan nasional dan pemerintah menginginkan persepakbolaan nasional harus segera dibersihkan. Jalannya sudah tentu melalui KLB dengan satu tema: perubahan total tata kelola persepakbolaan nasional.