Kurnia Ramadhana
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW
Masa kepemimpinan lima komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan segera berakhir. Pasal 34 Undang-Undang KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK menjabat selama empat tahun sehingga tahun ini menjadi tahun terakhir mereka. Namun belum terlihat adanya niat dari Presiden Joko Widodo untuk membentuk panitia seleksi pimpinan KPK.
Tulisan ini akan mencoba mengulas kinerja lima komisioner KPK saat ini, khususnya di bidang penindakan dan penataan kelembagaan. Pertama, potret kinerja KPK dalam persidangan tidak cukup memuaskan, terutama pada dakwaan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat KPK telah menangani 313 perkara selama 2016-2018, tapi hanya 15 perkara yang dikenakan pasal terkait dengan pencucian uang. Ini menggambarkan bahwa KPK belum mempunyai visi yang jelas pada isu asset recovery. Padahal, di sisi lain, kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi sudah teramat besar.
Keterkaitan pencucian uang dengan korupsi pada dasarnya sangat erat, baik dari segi yuridis maupun realitas. Untuk yuridis, korupsi secara spesifik disebutkan sebagai salah satu predicate crime dalam Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa para koruptor akan selalu berusaha menyembunyikan harta yang didapat dari rasuah. Dengan penyembunyian itu, seharusnya pasal pencucian uang dapat dikenakan kepada setiap pelaku korupsi.
Tuntutan KPK pun selama ini tidak begitu memuaskan. ICW mencatat, pada era kepemimpinan Agus Rahardjo, tren tuntutan KPK hanya menyentuh 5 tahun 7 bulan penjara. Padahal beberapa pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan untuk menuntut hingga 20 tahun penjara, bahkan seumur hidup. Untuk pasal suap, misalnya, KPK masih sering menggunakan Pasal 5, yang ancaman hukumannya maksimal hanya lima tahun penjara. Padahal terdapat Pasal 12, yang isi pasalnya serupa, tapi ancaman hukumannya lebih tinggi, yakni 20 tahun penjara.
Hal lain yang bisa disorot adalah tentang pencabutan hak politik. Sejak lima komisioner KPK dilantik, sudah ada 88 terdakwa dari dimensi politik yang dihadirkan dalam persidangan tindak pidana korupsi. Namun hanya ada 42 terdakwa yang dituntut agar hak politiknya dicabut. Padahal legitimasi dari pencabutan hak politik telah jelas diatur dalam Pasal 10 juncto Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahkan Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun menegaskan hal yang sama. Artinya, KPK tidak menggunakan instrumen hukum ini secara maksimal.
Contohnya saat KPK tidak menuntut pencabutan hak politik terhadap mantan Bupati Klaten, Sri Hartini. Alasan jaksa saat itu adalah tuntutan pidana penjara sudah cukup tinggi sehingga tidak diperlukan lagi pencabutan hak politik. Padahal tujuan keduanya jelas berbeda. Pidana penjara dimaksudkan agar yang bersangkutan merasakan hukuman badan atas kejahatan yang dilakukan, sementara pencabutan hak politik agar dia tidak dapat menduduki jabatan tertentu.
Kedua, masih banyak tunggakan perkara. ICW mencatat ada 17 perkara besar yang belum ditangani secara tuntas, seperti kasus pengadaan kartu tanda penduduk elektronik yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun. Dua terdakwa, Irman dan Sugiharto, telah menyebut keterlibatan puluhan politikus yang turut serta menerima aliran dana haram itu. Namun hingga hari ini KPK baru menetapkan delapan tersangka.
Ketiga, persoalan internal tak kunjung diselesaikan oleh pimpinan KPK. Dalam peringatan dua tahun penyerangan terhadap Novel Baswedan, secara mengejutkan beredar petisi dari internal KPK. Intinya, petisi tersebut diajukan karena adanya persoalan serius di internal kedeputian penindakan lembaga anti-rasuah itu. Seharusnya hal ini dapat segera diselesaikan oleh pimpinan KPK karena, bagaimanapun, sektor penindakan adalah bagian yang paling disorot oleh masyarakat.
Penegakan etika pun seakan-akan menjadi angin lalu saja pada era kepemimpinan komisioner KPK saat ini. Pantauan ICW menyebutkan, sepanjang 2016-2018, setidaknya ada tujuh dugaan pelanggaran etik. Persoalan serius adalah pimpinan KPK kerap tidak mengumumkan kepada publik soal kelanjutan ataupun putusan terhadap pegawai yang diduga melanggar etik, seperti kasus Aris Budiman, direktur penyidikan yang mendatangi panitia angket DPR; Roland dan Harun, penyidik yang diduga merusak barang bukti; Firli, deputi penindakan yang diduga bertemu dengan Tuan Guru Bajang; dan Pahala Nainggolan, deputi pencegahan yang diduga turut ikut campur dalam persoalan antar-korporasi di sidang arbitrase. Keseluruhan kasus ini seakan-akan menguap begitu saja.
Keseluruhan paparan di atas seharusnya menjadi evaluasi mendalam bagi komisioner KPK saat ini. Sejujurnya, catatan kritis ini bukan bermaksud menyudutkan KPK, melainkan karena kecintaan kepada lembaga anti-rasuah tersebut agar makin mengoptimalkan kinerjanya pada masa-masa mendatang.