Enrico Simanjuntak
Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Indonesia
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XVI/2018 mengenai pengujian atas Pasal 87 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) telah mengungkapkan sebagian akar permasalahan lemahnya penegakan hukuman disiplin terhadap aparatur sipil negara (ASN): pelanggaran disiplin berat ASN, apalagi yang berkaitan dengan pelanggaran pidana, ternyata tidak selalu diikuti dengan pemberhentian tetap aparatur bersangkutan. Sampai kini diperkirakan sekitar 1.210 terpidana masih berstatus ASN.
Akar permasalahannya adalah kontradiksi antar-norma hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum menyangkut kriteria, standar, dan mekanisme pemberhentian ASN, khususnya yang berstatus terpidana. Kontradiksi itu menyangkut pertentangan di antara norma-norma hukum dalam pasal yang sama, yakni antara Pasal 87 ayat 2 dan Pasal 87 ayat 4 huruf b UU ASN. Selain rawan menimbulkan ketidakpastian hukum, kontradiksi ini membuka peluang bagi pejabat pembina kepegawaian (PPK) untuk bertindak diskriminatif terhadap dua atau lebih bawahannya.
Isi putusan MK sebetulnya tidak lain "hanya menghapus" frasa "dan/atau pidana umum" di dua pasal yang dipersoalkan. Artinya, MK tidak membuat norma hukum baru ataupun menghapus secara radikal norma hukum yang sudah ada sehingga menimbulkan makna baru.
Permasalahan berikutnya yang lebih urgen adalah potensi penderogasian putusan MK oleh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Maksud dan tujuan putusan MK tersebut dapat ditafsirkan berbeda oleh PPK, mengingat masih adanya struktur perumusan norma pemberhentian ASN yang sifatnya multitafsir (ambigu). Idealnya, ketentuan seperti ini secara mutatis mutandis mengikuti dan menyesuaikan dengan substansi putusan MK. Tapi kondisi ini dapat berbeda hasilnya, mengingat masih belum ditutupnya ruang subyektivitas para PPK untuk menilai seorang aparatur sipil.
Dengan kata lain, potensi ketidakpastian hukum dan peluang perlakuan tidak sama oleh PPK kepada dua atau lebih bawahannya yang melakukan pelanggaran yang sama masih terbuka lebar. Kendati permasalahan seperti ini dapat diselesaikan jika dibawa ke badan peradilan, akan lebih baik bila pemerintah menerapkan norma, standar, dan prosedur yang benar-benar mampu menjamin konsistensi hukum kepegawaian.
Pemberhentian aparatur sipil merupakan salah satu rubrik penting dalam penegakan disiplin aparatur. Salah satu faktor yang mendasari kerumitan hubungan antara hukum disipliner dan hukum pidana dalam konteks pemberhentian aparatur adalah kegagalan hukum disipliner aparatur untuk mengikuti secara konsisten kaidah-kaidah normatif hukum pidana, yang sangat ketat menghindari rumusan norma yang multitafsir, bias, ambigu, dan bermakna luas.
Karena itu, guna lebih menjamin kepastian hukum, pemerintah perlu menjadikan putusan MK ini sebagai momentum untuk menata ulang keterpaduan aturan hukum di bidang kepegawaian melalui executive review atau penataan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya penegakan disiplin aparatur sipil, baik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN maupun ketentuan lain.
Selain itu, pada hakikatnya penegakan disiplin ini berorientasi ke penjatuhan sanksi. Jadi, sudah sepatutnya setiap peraturan disiplin kepegawaian juga mampu mencerminkan pemenuhan secara inheren asas-asas hukum, seperti lex stricta, lex certa, dan lex scripta secara ketat dan koheren. Sejalan dengan hal ini pula, sudah seharusnya ditetapkan penentuan acuan waktu sejak kapan berlakunya suatu norma hukum yang mengalami perubahan sesudah adanya norma hukum baru agar suatu sanksi disipliner dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Ketidakjelasan acuan seperti ini sering terjadi. Contohnya, sejak kapan pemberhentian tidak dengan hormat atau pemberhentian aparatur karena dipidana minimal dua tahun berlaku? Sampai sekarang acuan waktunya masih berbeda-beda. Sebagian pihak mengacu pada ketentuan UU ASN yang berlaku sejak 15 Januari 2014. Sebagian lagi berpendapat sejak 30 Maret 2017, ketika Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 berlaku. Bahkan ada yang mengacu pada Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tertanggal 13 September 2018, yang sifatnya sangat umum, sehingga terkesan telah mengesampingkan larangan norma berlaku surut ke belakang.
Menindaklanjuti putusan MK tentu tidak sekadar merevisi undang-undang, tapi juga menata peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Selain untuk mencegah tafsir yang berbeda-beda atas putusan MK, penataan itu dilakukan untuk memastikan konsistensi setiap aturan hukum dengan konstitusi.
Sebagaimana dinukilkan oleh Paul Scholten, keseluruhan hukum positif adalah perjuangan melawan ketidakpastian. Jadi, untuk menuju kepastian penegakan hukum, putusan MK ini sudah seharusnya menjadi momentum pemerintah untuk membongkar tuntas labirin kerumitan penegakan hukum disiplin aparatur sipil.