Keputusan pemerintah untuk menutup akses publik terhadap informasi mengenai hak guna usaha (HGU) dan data industri sawit harus ditinjau ulang. Selain bertentangan dengan asas keterbukaan, kebijakan itu menghalangi partisipasi publik untuk ikut mengawasi dan menjaga sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut.
Kebijakan itu dirilis lewat surat Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian yang ditujukan kepada Dewan Minyak Sawit Indonesia, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, dan para pemimpin perusahaan. Isinya, mereka diminta melindungi data dan informasi ihwal kebun kelapa sawit. Praktis hak publik untuk mengakses data sawit diganjal.
Penutupan akses itu dilakukan lantaran pemerintah tengah mengumpulkan basis data untuk kebijakan satu peta. Digadang-gadang kebijakan satu peta ini nantinya berfungsi mendukung program lain, seperti moratorium sawit. Alasan ini mengada-ada. Basis data HGU yang dimiliki pemerintah sudah diketahui amburadul. Karena itu, justru dibutuhkan masukan dan pengawasan banyak kalangan untuk menyempurnakannya.
Amburadulnya data HGU pemerintah bisa dilihat pada hasil analisis citra satelit 2014-2016 yang dilakukan Tim Koordinasi dan Supervisi Gerakan Nasional Penyelamatan SDA dan KPK. Citra satelit menunjukkan luas perkebunan sawit sudah mencapai 16,7 juta hektare. Sedangkan data pemerintah untuk periode yang sama cuma menunjukkan angka 11,2 juta hektare.
Banyak permainan sangat mungkin terjadi seputar selisih lahan sekitar 5 juta hektare itu. Ketidakakuratan data dan informasi itu mengindikasikan tingginya jumlah praktik ilegal, terutama korupsi, di sektor kelapa sawit. Apalagi, berdasarkan citra satelit, ditemukan pula area hutan sawit di kawasan hutan seluas 3 juta hektare yang belum dilepas statusnya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tanpa pengawasan publik, praktik kurang elok semacam itu bisa semakin merajalela.
Mudarat lain dari ketertutupan informasi ini adalah potensi terjadinya konflik lahan dan sosial antara warga dan perusahaan pemegang konsesi. Kerap terjadi perusahaan mengklaim HGU atas lahan yang ternyata dikuasai masyarakat. Salah satu konflik yang dipicu oleh tak transparannya dokumen ini adalah pertikaian antara masyarakat adat Dayak Benuaq dan perusahaan sawit PT Borneo Surya Mining Jaya (PT BSMJ) di Muara Tae, Kalimantan Timur.
Penyembunyian data juga tak menguntungkan bagi ikhtiar mengatasi ketimpangan lahan. Data rasio Gini pertanahan (2017) adalah 0,58. Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang. Data lain menunjukkan 31 persen lahan (5,1 juta hektare) total area penanaman kelapa sawit dikuasai hanya oleh 25 kelompok perusahaan.
Hal-hal semacam itulah yang dulu membuat Mahkamah Agung memutus bahwa dokumen HGU perkebunan sawit merupakan informasi terbuka. Dengan demikian, publik bisa turut mengawasinya. Putusan itu kini dilanggar terang-terangan oleh secarik surat dari deputi sebuah kementerian.