Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari-November 2018, impor gula mencapai 4,6 juta ton atau meningkat dibanding periode yang sama pada 2017 yang sebesar 4,48 juta ton. Atas data tersebut, Indonesia berada di urutan pertama negara pengimpor gula terbesar di dunia pada periode 2017-2018 dengan volume impor 4,45 juta ton. Indonesia mengungguli Cina, yang berada di posisi kedua dengan 4,2 juta ton, dan Amerika Serikat dengan 3,11 juta ton.
Tak pelak, ekonom seperti Faisal Basri akhirnya berteriak di ruang publik. Dia merasa heran akan kenaikan impor yang signifikan pada periode tersebut. Padahal saat itu tidak ada kenaikan konsumsi gula yang tinggi walaupun ada penurunan produksi di dalam negeri. Karena impornya tinggi, stok gula nasional semakin banyak. Maka dapat dipahami mengapa Faisal mencurigai lonjakan impor tersebut berkaitan dengan praktik renten para mafia yang menguasai pasar.
Siasat pemerintah pun terlihat cukup tricky. Dengan dalih untuk melindungi produsen gula dalam negeri, pemerintah justru menyiasatinya dengan membuat pengkategorian jenis gula, yakni gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri dan gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi masyarakat. Padahal impor gula hanya untuk pemenuhan GKR untuk industri. Namun, dalam perkembangannya, GKR justru juga digunakan untuk instrumen stabilisasi harga konsumen.
Sengkarut ini berawal saat Kementerian Perindustrian menargetkan kebutuhan industri atas gula rafinasi sebesar 2,8 juta ton, sementara Kementerian Perdagangan hanya memberikan kuota impor sebanyak 3,6 juta ton. Kuota tersebut dibagi dalam dua semester, yakni semester I sebesar 1,73 juta ton dan semester II sebesar 1,87 juta ton. Namun, realisasinya, pada semester I 2018 kuotanya hanya mencapai 1,56 juta ton. Hal tersebut menggambarkan industri tidak membutuhkan gula rafinasi sebanyak yang direncanakan pada awal 2018. Akhirnya, Kementerian Perdagangan merevisi kuota, dari 3,6 juta ton menjadi 3,15 juta ton.
Namun, pada semester II, kuota impor justru melejit hingga realisasi pada akhir 2018 tercatat 3,37 juta ton. Meskipun masih memenuhi kuota awal impor sebesar 3,6 juta ton, kuota ini meleset dari target revisi tengah tahun sebanyak 3,15 juta ton. Realisasi itu di luar impor gula untuk konsumsi sebesar 1,01 juta ton. Jadi, kemungkinan besar gula yang diimpor tidak hanya digunakan untuk kebutuhan industri, tapi juga kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan masih bertahan dengan alasan kekurangan stok di dalam negeri. Menteri Perdagangan mengakui permintaan impor gula industri terus meningkat setiap tahun. Peningkatan volume impor gula industri tersebut dipicu oleh permintaan dari industri yang juga tumbuh. Lucunya, Menteri justru ikut menyudutkan produksi gula dalam negeri karena kuantitasnya tidak memenuhi kebutuhan. Kualitasnya pun tidak bisa diterima oleh industri karena kadar gula tidak sesuai dengan kebutuhan industri makanan dan minuman.
Menurut Menteri, berdasarkan standar internasional, kadar gula Indonesia memiliki tingkat International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis yang tinggi. Sementara itu, gula yang dibutuhkan untuk industri makanan dan minuman harus berasal dari level rendah. Logika tersebut kemudian menjadi latar kenaikan permintaan impor gula industri.
Memang, bila kita telusuri kemampuan produksi gula nasional, ternyata kapasitasnya terus merosot dan lahan tebu terus berkurang. Pada sekitar 2014, masih ada lahan tebu seluas 450 ribu hektare tapi merosot menjadi 425 ribu hektare pada 2016. Pada 2017 turun lagi menjadi 420 ribu hektare. Dengan penurunan lahan tersebut, produksi gula nasional ikut merosot. Pada 2014, produksi gula nasional mencapai 2,5 juta ton, tapi turun menjadi 2,4 juta ton pada 2015; 2,2 juta ton pada 2016; dan 2,1 juta ton pada 2017.
Ini mengakibatkan produksi gula bahkan tak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi gula nasional. Pada 2018, misalnya, kebutuhan konsumsi tercatat sekitar 3,2 juta ton, tapi total produksi diperkirakan hanya 2,1 juta ton. Hal ini dapat merasionalkan kebijakan impor gula. Namun jumlah impor terus membengkak, dan terkadang utak-atik angka impor yang dibutuhkan terkesan sangat dipaksakan.
Sebelum terus bergantung pada impor, pemerintah perlu menunjukkan sikap dan kebijakan strategis yang serius. Kebijakan impor sejatinya sebagai pertahanan terakhir setelah pemerintah kehabisan napas dalam menopang produksi gula nasional. Apakah pemerintah sudah berada di posisi itu? Tampaknya tidak. Sedari awal pemerintah semestinya sudah memahami kapasitas produksi gula nasional terus turun, tapi pemerintah justru tak mengambil langkah strategis yang berarti untuk mengantisipasinya.
Tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengetahui penurunan kapasitas produksi nasional masing-masing komoditas tersebut. Namun pada akhirnya kebutuhan atas kebijakan impor dianggap rasional secara matematis dan politis.