Kepolisian tak perlu membentuk "desk tenaga kerja" untuk menyelesaikan kasus pidana ketenagakerjaan. Pembentukan unit tugas ini, juga organ khusus lain seperti Satuan Tugas Pangan Polri, mubazir dan tak menjamin kepastian nasib para buruh. Rawan disalahgunakan, desk tenaga kerja malah bisa berakibat negatif terhadap investasi di negeri ini.
Pembentukan desk tenaga kerja merupakan kelanjutan dari pertemuan pemimpin sejumlah organisasi buruh dengan Presiden Joko Widodo pada 26 April lalu. Pimpinan serikat pekerja meminta agar Presiden merevisi peraturan tentang pengupahan, membangun ruang penitipan anak di semua perusahaan, serta membentuk satuan tenaga kerja di tingkat kepolisian daerah. Polisi yakin unit khusus yang dibentuk hingga tingkat kepolisian resor ini bakal menjadi pusat pelayanan terpadu berupa konsultasi, pengaduan, dan pelaporan di bidang hukum ketenagakerjaan.
Seharusnya polisi tak mengambil alih tugas dinas tenaga kerja dalam memberikan konsultasi atau menjadi fasilitator persoalan tenaga kerja. Persoalan ketenagakerjaan sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme pengawas tenaga kerja maupun pengadilan hubungan industrial. Cara itu sebenarnya bisa menjamin pemenuhan hak pekerja. Ketidakpuasan terhadap putusan hakim bisa ditempuh dengan cara mengajukan permohonan banding.
Polisi bisa ikut menyelesaikan kasus pidana ketenagakerjaan yang menjurus ke arah kriminal. Misalnya jika ada perusahaan yang menggelapkan iuran Jaminan Sosial Tenaga Kerja meski telah menyunat gaji pekerjanya. Polisi juga bisa bertindak terhadap perusahaan yang mempekerjakan anak di bawah umur atau menyiksa buruh. Semua tugas itu tidak membutuhkan organ baru, melainkan cukup memaksimalkan unit kerja yang sudah ada.
Penyelesaian persoalan ketenagakerjaan hendaknya tak melulu lewat ranah pidana. Pemenuhan hak-hak mendasar buruh, seperti pembentukan serikat atau pemberian upah minimum, bisa diselesaikan oleh Kementerian dan Dinas Tenaga Kerja. Lembaga ini, juga dengan penyidik pegawai negeri sipil yang dimilikinya, punya kekuatan untuk memaksa perusahaan memenuhi hak tersebut.
Penyelesaian kasus tenaga kerja juga perlu mempertimbangkan keberlangsungan usaha. Menyeret pengusaha dengan ancaman penjara, kecuali untuk persoalan kriminal, malah bisa membuat investor, termasuk mereka yang berniat menanamkan modal di sektor yang membutuhkan banyak pekerja, kabur ke negara lain.
Presiden Jokowi sebaiknya segera merevisi aturan ketenagakerjaan supaya lebih ramah investasi, tapi sekaligus tetap menjaga pemenuhan hak-hak buruh. Revisi juga diperlukan agar aturan tenaga kerja mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul saat ini. Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sudah berusia 16 tahun, misalnya, belum menyentuh persoalan tenaga kerja di bidang ekonomi digital. Undang-undang tenaga kerja seharusnya memperhatikan pula nasib jutaan pekerja transportasi online yang tak berstatus karyawan-bahkan harus menyediakan alat kerja sendiri-dan minim perlindungan hukum.