Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Penembak Gajah dan Rekonsiliasi Pasca-Pemilu

image-profil

image-gnews
Komisi Pemilihan Umum menggelar rapat pleno Rekapitulasi Nasional Pemilu Luar Negeri di Kantor KPU RI, Jakarta, 4 Mei 2019. TEMPO/Ahmad Faiz
Komisi Pemilihan Umum menggelar rapat pleno Rekapitulasi Nasional Pemilu Luar Negeri di Kantor KPU RI, Jakarta, 4 Mei 2019. TEMPO/Ahmad Faiz
Iklan

M. Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.

Ada dua tilikan yang perlu dicatat sebagai refleksi pasca-pemilihan umum serentak 2019. Pertama, tilikan teknis. Di sini sorotan kita ke arah banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal. Hal ini memicu perbincangan perlunya perbaikan ke depan: apakah sistem pemilu diperbaiki atau sekadar teknis kepemiluannya. Kedua, ini terkait dengan apa yang hendak saya bahas di tulisan ini, tilikan residu conflictual.

Posisi dan peran elite sangat strategis sebagai kunci proses rekonsiliasi pasca-pemilu. Elite cukup menentukan dinamika politik, konsensus, dan konflik. Elite dapat merepresentasikan kelembagaan politik (partai-partai politik). Elite bisa pula berperan dalam meredakan panasnya suhu politik akibat kontestasi yang ketat polarisasinya. Dalam konteks ini, ada dua macam elite yang pokok, elite-elite partai politik atau elite yang terlibat dalam proses kontestasi secara langsung dan elite tradisional di masyarakat atau para tokoh masyarakat (elite agama, adat, akademikus, dan sebagainya). Mereka punya peran strategis dalam memperkuat rekonsiliasi pasca-konflik politik sebagai dampak pemilu serentak.

Di lapisan elite politik yang terlibat kontestasi, mereka harus mengupayakan konsensus baru dalam bingkai demokrasi. Syaratnya, semua pihak mengakui hasil pemilu, menyelesaikan masalah melalui jalur hukum yang bermartabat, dan memperkuat konstelasi politik dalam menggelar mekanisme demokrasi pada penyelenggaraan pemerintahan (sistem presidensial) dalam bingkai konstitusi. Biasanya, manakala konstelasi politik baru terbentuk, seiring dengan itu pula konflik di ranah elite politik mereda, mengingat mereka telah sama-sama bekerja dalam lanskap politik baru secara "checks and balances".

Masyarakat yang terpolarisasi tajam memerlukan ikhtiar ekstra dari elite dalam menenangkan dan menyatukan kembali. Ikhtiar ini tidak mudah, bahkan tak akan mengalami kemajuan, manakala sebagian elite tidak punya ketulusan. Elite model ini cenderung membiarkan residu konflik, ketika masyarakat tenggelam dalam arus "demokrasi perasaan" (democracy of feeling), istilah yang digunakan William Davies dalam Nervous States, How Feeling Took Over The World (2018).

Baca Juga:

Selain itu, elite juga gagal dalam proses rekonsiliasi apabila tidak berani menghadang "emosi massa" yang terlanjur menguat persepsi destruktifnya. Residu konflik bahkan sering kali masih kuat ketika ranah elite sudah mereda. Tidak mudah untuk meredakan "emosi masyarakat" akibat provokasi elite yang dilakukan secara sistematis dan dipropagandakan melalui beragam hoaks di media sosial. Dalam perspektif ini, elite diasumsikan ikut mengolah dan memperbesar "emosi masyarakat". Namun, setelah kontestasi usai, elite malah kesulitan untuk meredakan "emosi masyarakat" tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita ingat "sindrom menembak gajah" dalam esai George Orwell, Shooting an Elephant (1936), ketika Orwell tak kuasa mengendalikan massa di belakangnya yang penuh amarah dan antusias terus mendesak agar seekor gajah ditembak. Padahal, sang gajah tidak lagi mengamuk. Orwell sebagai tokoh utama dan satu-satunya pemegang senjata, tak punya pilihan selain menembak. Wibawanya sebagai elite hancur manakala ia tak melakukannya, padahal keinginannya bertolak belakang dengan kehendak massa. "Sindrom menembak gajah" merupakan catatan betapa elite pun sesungguhnya tidak mudah mengendalikan "emosi massa" atau eskalasi irasional masyarakat yang sudah telanjur punya "persepsi sendiri", padahal persepsi itu tak lepas dari "bentukan elite".

Maka, kita kembalikan ke niat para elite yang terlibat kontestasi: sejauh mana mereka punya ketulusan berdemokrasi? Kalau mereka punya niat baik dalam rekonsiliasi, mereka tak akan terjangkiti "sindrom menembak gajah". Mereka berani menjelaskan ke masyarakat bahwa gajah tidak perlu ditembak. Tak perlu ada korban selanjutnya. Demokrasi tak boleh dilukai semakin dalam.

Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan para elite dalam rekonsiliasi. Pertama, pendekatan aktual. Harus menyeringkan kegiatan-kegiatan dialog rekonsiliasi dengan pendekatan kultural, termasuk keagamaan. Kedua, pendekatan virtual, mengingat "virus hoaks" yang bertebaran sangat ampuh mempengaruhi pikiran negatif masyarakat. Pendekatan ini dilakukan dengan menyuntikkan "virus positif" antihoaks sehingga terbangun kembali persepsi positif yang jauh dari prasangka sehingga masyarakat kembali hadir sebagai partisipan demokrasi yang baik.

Rekonsiliasi adalah bagian integral dari konsolidasi kebangsaan jangka panjang dan pekerjaan rumah yang sangat besar sejak kemerdekaan. Ia terkait dengan apa yang pernah dilontarkan oleh Bung Karno tentang "nation and character building", proses kita menjadi bangsa yang bersifat dinamis, terus-menerus, melibatkan segenap warga bangsa dalam menjawab tantangan yang semakin kompleks.

Demokrasi harus memperkuat integrasi. Jangan justru memberi celah bagi disintegrasi. Dan, semua itu tergantung para elite dan masyarakatnya. Demokrasi harus kita ikhtiarkan terus-menerus sebagai berkah kebangsaan, bukan dianggap selalu menyisakan beban.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

22 jam lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

29 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.