Keputusan sejumlah pemerintah daerah melarang pemutaran film Kucumbu Tubuh Indahku karya sutradara Garin Nugroho di wilayahnya, dengan dalih menjaga moral masyarakat, sungguh tak masuk akal. Larangan itu membunuh kreativitas seniman perfilman dan jelas melanggar kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Film yang berjaya di berbagai festival internasional itu telah lolos saringan Lembaga Sensor Film (LSF)lembaga yang eksistensinya juga bisa diperdebatkan. Dibentuk dan bekerja berdasarkan Undang-Undang Perfilman, LSF adalah satu-satunya organisasi yang berhak menyatakan sebuah film layak ditayangkan atau tidak.
Film yang berkisah tentang kekerasan sosial dan politik yang dialami oleh pria seorang penari lengger tersebut beredar sejak 18 April lalu. Sebelumnya, Kucumbu Tubuh Indahku malang-melintang di banyak festival dan memenangi penghargaan dalam Asia-Pacific Screen Award dan Festival Des 3 Continents Nantes 2018.
Dipuji di luar negeri, sayangnya film ini dihujat di negeri sendiri. Wali Kota Depok Mohammad Idris pada 24 April melarang penayangan film itu dengan alasan dapat mempengaruhi cara pandang atau perilaku masyarakat terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT); serta "bertentangan dengan nilai agama". Larangan yang sama dikeluarkan oleh pemerintah Garut, Jawa Barat; Palembang, Sumatera Selatan; dan Balikpapan, Kalimantan Selatan.
Tidak semestinya pemerintah daerah mengambil peran sebagai lembaga sensor kedua dalam menentukan film mana yang patut ditayangkan dan yang tidak. Kepentingan politik elite lokal tidak bisa dijadikan alasan untuk memberangus karya seni yang sudah diloloskan oleh lembaga lain yang bekerja berdasarkan berbagai kriteria.
Pemerintah daerah sesungguhnya bisa terlibat dalam pengawasan perfilman. Misalnya dengan memastikan pengelola bioskop memenuhi aturan klasifikasi film berdasarkan kelompok umur. Kita tahu, saat ini hampir tidak ada bioskop yang memeriksa usia penonton terlebih dulu. Tugas aparat daerah adalah memastikan pengelola bioskop menjalankan kewajibannya.
Bagi pembuat kebijakan, larangan ini menunjukkan tidak adanya mekanisme perlindungan terhadap kreator film. Terbukti, film yang sudah dinyatakan tidak bermasalah oleh LSF justru kandas di tangan pemerintah daerah. Secara bisnis, tentu ini mendatangkan kerugian materi bagi produser.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya mulai memikirkan perlindungan bagi film yang sudah lolos sensor tapi dihambat peredarannya, apakah itu oleh pemerintah atau organisasi kemasyarakatan. Lembaga yang meloloskan sebuah film harus diberi kekuatan hukum untuk menjamin film itu bisa ditayangkan.
Negara harus merespons cepat larangan ini. Sebab, jika larangan film dengan alasan perbedaan orientasi seksual dibiarkan tanpa respons yang tepat, dikhawatirkan masalah ini akan meluas ke arah intoleransi terhadap kelompok LGBT. Bukan mustahil, bentuk-bentuk diskriminasi lain akan muncul setelah ini.
Melarang peredaran film di zaman sekarang juga terasa muskil. Dilarang tayang di bioskop, film masih bisa didapatkan dengan mudah di dunia maya. Ketimbang melarang, akan lebih bijak jika pemerintah ikut meningkatkan literasi film masyarakat. Caranya adalah dengan mendidik masyarakat supaya pandai memilih dan mengapresiasi film.