Emilianus Yakob Sese Tolo
New Mandala Indonesia Fellow, Australian National University’s College of Asia and the Pacific, Canberra, Australia
Proyek infrastruktur pemerintah, baik yang dibiayai oleh dana desa maupun anggaran pemerintah provinsi dan pusat, cenderung dikorupsi oleh para politikus dan birokrat di Indonesia timur. Di Flores, misalnya, Petrus Kanisius, mantan Kepala Desa Runut, Kabupaten Sikka, dipenjara 3 tahun karena melakukan korupsi sekitar Rp 379 juta dari dana desa pada 2017. Selain itu, menurut seorang kontraktor di Flores, seorang kontraktor proyek selalu diminta memberikan 10 persen dari total nilai proyek, entah kepada bupati, Ketua DPRD, atau kepala dinas, sebelum mendapat kontrak proyek infrastruktur tertentu. Dalam beberapa kasus, beberapa pejabat politik dan birokrat berbeda sama-sama menuntut pembayaran 10 persen dari total nilai satu proyek.
Dampaknya, banyak pembangunan infrastruktur yang bermutu buruk. Sebuah gedung perkantoran di Kecamatan Boawae, Flores, misalnya, tidak digunakan setelah pembangunannya selesai dua tahun lalu. Para pegawai mengaku takut menggunakannya karena kualitas gedung yang buruk. Sementara itu, di Borong, Flores, jalan yang menghubungkan Desa Lehong dan Peot, yang dibangun dengan biaya Rp 9 miliar, hanya digunakan selama satu tahun, lalu rusak oleh hujan deras pada 2017. Demikian pula, pada Desember 2018, jalan yang menghubungkan Desa Bugis, Cambir, dan Sola di Kabupaten Manggarai Timur sudah dalam kondisi buruk setelah digunakan selama satu bulan saja.
Banyak contoh proyek infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, yang sengaja dibangun selama atau dekat musim hujan agar jika bangunannya rusak, yang dipersalahkan adalah alam, seperti hujan dan banjir. Pemerintah daerah kemudian memiliki alasan untuk meminta dana pembangunan baru ke pemerintah pusat untuk memperbaiki bangunan yang rusak itu. Biasanya, anggaran baru ini lebih tinggi dari sebelumnya. Di Kabupaten Lembata, misalnya, pemerintah daerah membangun jembatan di Waima dengan biaya Rp 1,6 miliar. Ketika jembatan runtuh karena banjir, pemerintah daerah meminta dana Rp 30 miliar untuk membangunnya kembali.
Mengapa korupsi proyek infrastruktur merajalela di Indonesia timur? Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti pers yang tidak kritis, media sosial digital yang kurang berkembang, dan masih kentalnya budaya permisif.
Di sana, tidak sulit untuk membeli pengaruh di media. Media lokal jarang mengkritik pemerintah. Namun masyarakat pun tidak dapat mengandalkan media nasional, yang sangat Jakarta-sentris. Sebab, media nasional, seperti yang ditulis Ross Tapsell (2018: 119) dalam Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital, hanya memberikan 10-20 persen konten lokal dalam liputannya. Akibatnya, lembaga pemberantasan korupsi, seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, cenderung tidak mengetahui kasus korupsi di Indonesia timur.
Media sosial digital juga belum berkembang dengan baik. Penetrasi Internet, menurut Tapsell (2018), hanya 25 persen di Indonesia timur. Di banyak wilayah, satu-satunya koneksi Internet yang dapat diandalkan adalah Telkomsel, yang jauh lebih mahal daripada provider lain di Jawa. Hal ini menyebabkan tidak semua orang di Indonesia timur bisa mengakses layanan Internet. Selain itu, ada banyak orang yang juga tidak memiliki ponsel. Akibatnya, masyarakat tak dapat secara maksimal menggunakan media digital yang sedang berkembang hari ini untuk mengontrol politikus dan birokrat korup.
Korupsi juga disebabkan oleh norma budaya yang masih permisif terhadap korupsi. Ada kecenderungan umum di masyarakat untuk tidak melaporkan kasus korupsi. Seorang pejabat Badan Pengawas Pemilu di Flores mengatakan kepada saya bahwa lembaganya sangat menyadari permainan politik uang yang terjadi di kabupatennya. Namun, walaupun lembaganya mengetahui terjadi kecurangan seperti ini, mereka hanya akan membawa tindakan kecurangan itu ke ranah hukum jika media terus menekan mereka untuk melakukannya. Padahal politik uang adalah akar dari budaya korupsi di Indonesia timur.