Aminuddin
Direktur Eksekutif Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (Pokasi)
Merujuk pada hasil Pemilihan Umum 2019 melalui hitung cepat (quick count) berbagai lembaga survei, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berada di posisi teratas dengan perolehan suara 19-22 persen, diikuti Gerindra yang bersaing dengan Golkar di angka 11-13 persen. Selanjutnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekitar 9-10 persen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 8-9 persen, NasDem 7-8 persen, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4-5 persen. Sementara itu, partai lain diprediksi tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold).
Yang paling menarik dari hasil hitung cepat ini, tidak satu pun partai berbasis Islam yang mampu mendekati perolehan suara PDI-P atau setidaknya mengganggu konsistensi partai Gerindra, yang pada 2014 dan 2019 konsisten berada di urutan kedua. Namun ada sedikit kenaikan pada beberapa partai berbasis Islam, seperti PKS dan PKB. Jika dibandingkan dengan Pemilu 2014, perolehan suara partai politik berbasis massa Islam cukup signifikan saat itu. PKB meraih suara terbesar, yakni 9,04 persen, lalu PKS 6,79 persen, PAN 7,59 persen, PPP 6,53 persen, dan PBB 1,46 persen.
Terlepas dari perolehan suara PKB dan PKS yang cenderung naik, hal itu tidak bisa dijadikan ukuran bahwa partai berbasis Islam melakukan pembaruan sebelum Pemilu 2019 berlangsung. Kenaikan perolehan suara kedua partai tersebut tidak diikuti oleh partai berbasis Islam lain, seperti PAN, PBB, dan PPP. Malah sangat tragis bagi PBB yang terancam tidak masuk ambang batas parlemen untuk kedua kalinya.
Terlepas dari belum finalnya penghitungan suara kali ini, partai-partai Islam sebenarnya diberi waktu untuk melakukan refleksi sejak 2014, ketika mereka belum mampu merangkak dari papan tengah. Alarm tersebut sebenarnya menjadi modal bagi mereka untuk menggenjot perolehan suara yang signifikan dalam Pemilu 2019. Namun, lagi-lagi, tidak sedikit partai berbasis Islam yang rontok.
Kegagalan partai berbasis Islam mendulang suara yang signifikan disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perilaku pemilih yang sangat dinamis dan cenderung mengikuti perkembangan sosial-politik. Perilaku pemilih yang condong kritis tidak segan-segan menghukum partai mana pun yang tidak sejalan dengan watak keislaman. Ini bisa dilihat dari perolehan suara PPP. Tragedi penangkapan ketua umumnya, Romahurmuziy, oleh KPK menjadi salah satu pengaruh terbesar pemilih muslim menghukumnya di bilik suara.
Kedua, program, visi-misi, dan tema kampanye partai berbasis Islam tidak terkoneksi langsung dengan kebutuhan publik. Jika dilihat dari berbagai kampanye mereka, tema yang diwacanakan cenderung tidak populis, seperti syariat Islam dan kecenderungan memberi ruang kepada kelompok yang ingin membentuk negara Islam. Padahal tema-tema seperti itu tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam. Umat Islam lebih condong terhadap solusi yang praktis dan bisa dipahami dengan sangat sederhana, seperti persoalan ekonomi, kesenjangan, dan akses pendidikan.
Ketiga, belum menyatunya partai berbasis Islam. Partai-partai Islam terlihat terkotak-kotak sesuai dengan kepentingan pragmatis masing-masing. Ketidakpaduan inilah yang membuat ceruk suara berbasis Islam menjadi bias. Pemilih bingung memberikan suaranya karena partai berbasis Islam sendiri belum bisa menyatu. Padahal, jika mereka bersatu padu, bukan tidak mungkin partai Islam menjadi kekuatan baru pasca-reformasi untuk mengganggu supremasi partai berbasis nasionalis. Namun, lagi-lagi, sikap egosentris, pragmatis, dan ingin mencari jalan sendiri membuat mereka kehilangan basis elektoral dalam Pemilu 2019.
Keempat, menguatnya politik Islam tidak diimbangi dengan solidnya partai Islam. Ketidakhadiran partai Islam yang mampu mengakomodasi kekuatan politik Islam secara menyeluruh membuat kekuatan di akar rumput tidak terwakili. Sebaliknya, partai yang berbasis nasionalis semakin menguatkan posisinya di akar rumput melalui berbagai kebijakan akomodatif, seperti sikap toleransi, pluralisme, dan keberagaman. Bahkan partai berbasis nasionalis berani menolak paham dan ideologi yang ingin merongrong keutuhan negara.
Politik akomodasi terhadap kekuatan politik Islam sendiri itulah yang membuat partai Islam sulit diterima oleh kalangan Islam. Bahkan suara mayoritas warga Nahdlatul Ulama pun tidak bisa diakomodasi dengan baik sehingga suara warga NU terpecah ke berbagai partai.
Akhirnya, keempat masalah tersebut menjadi pekerjaan rumah terbesar partai berbasis Islam. Mengakomodasi aspirasi dan kekuatan politik Islam itu penting. Hal ini dapat dilakukan dengan intensitas komunikasi ke akar rumput. Partai Islam yang menganut sistem akomodatif harus dimulai dari komunikasi secara masif ke arus bawah. Jika ini terus dilakukan, arus politik perwakilan akan dirasakan oleh kekuatan politik Islam yang belum terwakili di partai politik.