Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
Film, apalagi hasil kreasi sutradara senior seperti Garin Nugroho, sesungguhnya adalah karya seni untuk dinikmati, bukan untuk dibenci. Tapi ini tidak berlaku bagi film Kucumbu Tubuh Indahku.
Film yang mendapat beberapa penghargaan internasional, termasuk dari Italia, Prancis, Australia, dan Meksiko, ini ternyata malah memantik perdebatan ketika diputar di Tanah Air. Film yang sudah diputar di lebih dari 30 festival film di seluruh dunia ini kini memicu munculnya petisi penolakan di sini.
Petisi yang dimuat di Change.org itu ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia dan sudah ditandatangani lebih dari 5.800 orang pada Jumat 26 April lalu. Isinya adalah imbauan untuk memboikot film ini, yang dinilai mendukung kehadiran lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Rakhmi Marshita, pemrakarsa petisi itu, mengajak para warganet menolak film yang ia anggap tidak sesuai dengan norma masyarakat. "Jika film seperti ini diizinkan tayang dan disebarluaskan, kita mesti khawatir bahwa generasi muda yang mengalami kesulitan menemukan jati diri akan mencontoh perilaku dalam film ini," demikian tulisan Rakhmi dalam petisinya.
Kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa film Kucumbu Tubuh Indahku bakal berisiko memicu efek negatif bagi masyarakat sebetulnya bukan hal baru. Dalam dua-tiga tahun terakhir, polemik tentang keberadaan LGBT terus menjadi kontroversi. Keberadaan mereka yang dinilai makin masif dan berani memperlihatkan eksistensinya dikhawatirkan bukan hanya berpotensi berdampak buruk di masyarakat, tapi juga dituding melanggar nilai dan norma keagamaan.
Sejumlah negara, seperti Brunei, misalnya, bahkan menerapkan hukuman mati dengan cara rajam bagi pelaku hubungan seks sesama pria. Adapun pasangan perempuan sesama jenis terancam hukuman cambuk 40 kali atau penjara 10 tahun.
Menurut laporan State Sponsored Homophobia (2019), tercatat paling tidak ada 70 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengkriminalkan LBGT. Sejumlah negara yang memberlakukan hukuman mati bagi kaum LGBT, selain Brunei, adalah Afganistan, Iran, Sudan, Nigeria, Yaman, Arab Saudi, Qatar, dan Somalia.
Di Indonesia, meski tidak menerapkan ancaman hukuman mati bagi LGBT, keberadaan LGBT umumnya masih dipandang dengan tatapan yang nanar, menertawai, sinis, mencemooh, dan tidak jarang dengan penghakiman. Bahkan ada sebuah perguruan tinggi yang terang-terangan menolak dan mengancam mengeluarkan mahasiswa yang ketahuan sebagai LGBT.
Alih-alih bersimpati dan berusaha membantu para LGBT untuk keluar dari persoalan, apalagi menerima kehadiran mereka, sejumlah pihak tak jarang memperlakukan mereka sebagai pihak yang bersalah. LGBT sering kali ditempatkan sebagai bagian dari kelompok liyan yang berpotensi meracuni orang-orang di sekitarnya untuk terseret berbuat keliru. Mereka umumnya dinilai sebagai komunitas berbahaya dan bahkan bentuk penyimpangan kejiwaan. Padahal Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) telah menyatakan bahwa LGBT bukanlah bentuk kelainan mental atau kelainan perilaku seksual.
Melalui film Kucumbu Tubuh Indahku, Garin sebetulnya tidak hanya menampilkan cerita tentang perjalanan penari lengger dan koreografer terkenal Rianto yang kini tinggal di Jepang. Film itu juga bertutur tentang tradisi gemblak dari Ponorogo, yang membahas sisi maskulin dan feminin yang tidak jarang memang menjadi dilema yang tak mudah dipecahkan.
Menonton film Kucumbu Tubuh Indahku, kita sebetulnya diajak untuk lebih memahami dan bahkan berempati kepada situasi problematik yang dihadapi oleh kelompok liyan ini ketika menghadapi tantangan kehidupan.
Garin tidak bermaksud membela dan tidak pula menghakimi apa yang terjadi dan dialami kelompok LGBT. Apa yang dituturkan Garin sesungguhnya adalah sebuah tawaran sekaligus ajakan untuk berdialog di antara para penonton.
Kalau memiliki kesempatan memilih, bisa dipastikan tidak ada satu orang pun yang sengaja memilih menjadi LGBT. Tapi orang-orang yang berpikir dogmatis dan kaku biasanya tidak berusaha memahami apa yang mendorong seseorang menjadi LGBT. Dalam pandangan orang-orang seperti ini, LGBT umumnya dipandang sebagai dosa besar, sehingga sudah sepantasnya mereka diancam hukuman penjara hingga hukuman mati.
Apakah dengan menghukum mati para LGBT, persoalan akan selesai? Apakah dengan mengancam mereka, akan ada jaminan tidak lagi muncul LGBT baru? Menjawab pertanyaan ini tentu bukan hal mudah. Tapi pemberlakuan berbagai regulasi yang sifatnya menghukum itu ada kemungkinan bukan malah membuat LGBT berkurang, melainkan sebaliknya, justru akan makin resistan.