Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Sofyan Basir sebagai tersangka kasus suap merupakan peringatan keras untuk atasannya: Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno dan Presiden Joko Widodo. Sudah saatnya pemerintah membersihkan PLN dan semua badan usaha milik negara (BUMN) lainnya dari praktik korupsi.
KPK menjerat Sofyan dalam kasus korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Penyidik menemukan bukti kuat dia menerima suap sebesar Rp 4,75 miliar dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo. Jumlah fulus yang sama diterima oleh eks Menteri Sosial Idrus Marham dan politikus Golkar yang juga Wakil Ketua Komisi Energi di Dewan Perwakilan Rakyat, Eni Saragih.
Ketiganya menerima imbalan atas penunjukan perusahaan Johannes, BlackGold Natural Resources, sebagai kontraktor PLTU Riau-1. Sulit buat Sofyan berkelit karena pengadilan sudah menyatakan Johannes, Idrus, dan Eni terbukti bersalah. Ketiganya divonis dengan hukuman bervariasi 3-6 tahun penjara.
Penetapan status tersangka untuk Sofyan adalah kasus ketiga yang menjerat direksi BUMN dalam satu bulan terakhir. Pada akhir Maret lalu, direksi PT Pupuk Indonesia dicokok setelah menyuap anggota Fraksi Golkar di DPR, Bowo Sidik Pangarso. Sepekan sebelumnya, direksi PT Krakatau Steel juga ditangkap ketika menerima suap dari rekanan perusahaannya. Sepanjang 2004-2018, KPK telah menyidik berbagai kasus korupsi di 56 BUMN/BUMD di seluruh Indonesia.
Kenyataan pahit ini menandakan amburadulnya penerapan good corporate governance (GCG) di perusahaan milik negara. Ketika direksi terlibat korupsi, jelas perusahaan itu mengabaikan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Praktik suap merusak semua prosedur standar pengambilan keputusan yang profesional.
Kritik atas buruknya tata kelola publik kita sebenarnya bukan hal baru. Pada Oktober 2016, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sudah menyatakan keprihatinannya soal ini. Organisasi ini menilai mutu tata kelola pemerintahan di Indonesia lebih buruk dibanding di negara berkembang lainnya.
Tak tegasnya komitmen pemerintah juga tecermin dari lemahnya dasar hukum pelaksanaan GCG di lingkungan BUMN. Perkara penting ini hanya diatur lewat Peraturan Menteri Negara BUMN No. 01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara. Isinya pun lebih mengedepankan imbauan, tanpa sanksi jelas jika ada pelanggaran.
Apa yang terjadi sekarang adalah buah ketidaktegasan itu. Meski BUMN kerap digadang-gadang sebagai lokomotif pembangunan nasional, pemerintah abai memperkuat hal paling fundamental untuk menjamin profesionalisme mereka. Tanpa tata kelola yang memenuhi standar internasional, perusahaan milik negara terancam menjadi sapi perah dan bagian dari transaksi politik belaka. Ini tentu kerugian buat kita semua.
Setelah mandatnya sebagai kepala pemerintahan diperbarui, pembersihan BUMN seharusnya menjadi prioritas Presiden Joko Widodo. Indonesia tak akan naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi jika gagal memperbaiki tata kelola perusahaan negaranya.