KEKUATAN Dewan Perwakilan Rakyat hingga lima tahun ke depan diperkirakan tak akan banyak berubah. Partai-partai lama tetap menguasai Senayan. Suara partai koalisi pendukung pemerintah-yang dalam pemilihan presiden menyokong Joko Widodo-Ma’ruf Amin-juga diprediksi tetap mayoritas. Sedangkan total kursi oposisi dari koalisi pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tak jauh berbeda dengan periode 2014-2019.
Hanya sedikit pergeseran kekuatan suara dalam pemilu legislatif. Dari sepuluh partai penghuni Senayan selama ini, sembilan partai memenuhi ambang batas minimal perolehan suara 4 persen dari total suara sah nasional. PDI Perjuangan diproyeksikan memimpin dalam perolehan kursi, diikuti Partai Gerindra. Perolehan suara partai yang dipimpin Prabowo itu mengungguli Partai Golkar, yang pada Pemilu 2014 berada di urutan kedua. Berikutnya adalah Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera. Partai Hanura, yang pada periode sebelumnya memiliki 16 kursi, diperkirakan gagal melewati parliamentary threshold ini.
Bercokolnya partai-partai lama di Dewan memang sudah bisa diperkirakan dari awal. Meningkatnya ketentuan ambang batas perolehan suara dalam Undang-Undang Pemilihan Umum hampir pasti menutup peluang partai baru memiliki kursi di Senayan. Di satu sisi, ketentuan itu mempercepat usaha penyederhanaan partai. Sistem pemilihan dengan banyak partai membuat kekuatan di parlemen terbagi-bagi. Dengan jumlah partai lebih sedikit, konsolidasi partai-partai diharapkan lebih cepat. Parliamentary threshold yang tinggi semestinya juga membuat partai-partai tidak hanya bekerja lima tahun sekali, yakni menjelang pemilihan umum. Kader-kader mereka dituntut untuk terus berinteraksi dengan konstituen. Dengan demikian, dalam pemilu berikutnya, mereka bisa bertahan di lembaga perwakilan.
Pada saat yang sama, ambang batas perolehan suara parlemen yang terlalu tinggi menutup peluang partai baru memasuki Senayan. Suara yang terbuang dalam proses penentuan kursi juga terlalu banyak. Kekuatan partai-partai baru akhirnya hanya terakomodasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, seperti yang mungkin dialami Partai Solidaritas Indonesia pada pemilu kali ini. Partai ini diperkirakan memiliki kursi cukup besar di DPRD DKI, meski gagal memasuki Senayan.
Bercokolnya partai lama-apalagi bila mereka banyak memasang calon legislator inkumben-hampir pasti membuat kinerja mereka tak jauh berbeda dengan anggota Dewan periode sebelumnya. Bagi publik, bila tak ada perbaikan, hal ini jelas sangat merugikan. Sebagai contoh, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menjerat sejumlah anggota Dewan periode 2014-2019 sebagai terpidana korupsi. Pada musim kampanye lalu, KPK bahkan menangkap beberapa anggota Dewan yang diduga melakukan korupsi untuk keperluan politik uang. Belum lagi buruknya kinerja anggota Dewan, yang antara lain ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kehadiran mereka dalam sidang-sidang penting.
Wakil-wakil partai yang lolos ke Senayan sepatutnya menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik. Selain positif bagi publik, kinerja baik membuat peluang mereka untuk lolos parliamentary threshold pada pemilu mendatang bisa lebih tinggi.