Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menafsir Ulang Pasal Penodaan Agama

image-profil

image-gnews
Menafsir Ulang Pasal Penodaan Agama
Menafsir Ulang Pasal Penodaan Agama
Iklan

Miko Ginting
Pengajar Hukum Pidana di STH Indonesia Jentera

Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis kepada Meiliana, ibu yang didakwa dengan delik penodaan agama, dengan 18 bulan pidana penjara. Sejak awal kasus ini mendapat sorotan publik karena dekat sekali dengan perasaan keadilan masyarakat, berputar dalam relasi mayoritas-minoritas kehidupan sosial beragama, pembuktian yang dianggap lemah, hingga perdebatan soal apakah ada keperluan untuk mempertahankan delik ini sebagai norma hukum.

Penafsiran hakim pada tingkat kasasi akan sangat menarik untuk dibahas. Namun, hingga hari ini, putusan tersebut belum dipublikasikan oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian, belum dapat dilakukan pemeriksaan dan penilaian terhadap pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut. Terlepas dari hal itu, persoalan norma dalam Pasal 156 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga tidak kalah menariknya untuk dibahas dengan satu pertanyaan penting: jika delik itu masih eksis dalam hukum positif Indonesia, apa yang harus dilakukan agar penerapannya berjalan dalam koridor yang tepat?

Suatu norma hukum, terutama apabila membatasi perilaku dengan mencantumkan sanksi pidana sebagai sebuah konsekuensi, seharusnya dirumuskan secara tertulis (lex scripta), secara pasti/jelas (lex certa), dan secara ketat (lex stricta). Ketiga prinsip ini adalah prinsip yang fundamental dalam negara hukum. Meski demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa ada, bahkan banyak, norma hukum yang dirumuskan secara longgar dan memunculkan banyak penafsiran sehingga penerapannya berdampak secara negatif pada perlindungan hak individu.

Salah satunya adalah delik penodaan agama yang sampai saat ini masih berlaku melalui KUHP. Begitu juga dengan dua putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor 84/PUU-X/2012, yang menyatakan delik tersebut konstitusional atau tidak bertentangan dengan norma konstitusi. Ke depan, tampaknya perumus rancangan KUHP akan tetap mempertahankan delik ini. Dalam situasi dilematis ini, gerbang terakhir untuk memastikan penerapannya berjalan secara tepat adalah pada pertimbangan hakim yang mengadili kasus-kasus yang terkait "penodaan agama" ini.

Salah satu kajian penting dan lengkap serta dapat dijadikan acuan bagi hakim adalah Penafsiran terhadap Pasal 156 huruf a KUHP tentang Penodaan Agama (Analisis Hukum dan Hak Asasi Manusia). Kajian yang disusun oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Peradilan (LeIP) itu tidak hanya secara lengkap merumuskan berbagai perangkat analisis tapi juga secara mendalam menyediakan acuan bagi hakim untuk mendudukkan kembali penafsiran (reinterpretasi) yang tepat perihal delik penodaan agama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada beberapa unsur yang perlu menjadi acuan hakim. Pertama, adanya unsur kesengajaan. Unsur ini harus diartikan kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmerk) yang dalam delik ini harus diartikan bahwa perbuatan itu harus semata-mata diniatkan atau dimaksudkan untuk menghina atau menodai suatu agama. Kedua, unsur di muka umum. Unsur tersebut harus diartikan bahwa perbuatan itu dilakukan secara lisan atau secara fisik.

Ketiga, unsur permusuhan. Unsur ini harus mengandung kebencian yang mendalam terhadap suatu agama, bukan sekadar keyakinan atau pandangan yang berbeda. Keempat, unsur penodaan agama dan penyalahgunaan agama. Sejalan dengan unsur sebelumnya, unsur ini seharusnya diartikan bukan sekadar pandangan atau keyakinan yang berbeda, tapi juga harus mengandung unsur permusuhan dan menghina secara obyektif.

Dalam kerangka ini, salah satu parameter penting adalah siapa yang akan menentukan suatu tindakan atau ucapan lisan memenuhi unsur permusuhan sebagai dasar penodaan agama? Jika mendasarkan pada keterangan ahli, tentu sama sekali tidak tepat. Jika mendasarkan pada ketersinggungan masyarakat, maka bias dan persepsi mayoritas-minoritas kemungkinan besar akan berperan besar. Di titik ini, kembali peran hakim menjadi penting untuk memeriksa apakah benar suatu perbuatan maupun ucapan lisan mengandung unsur permusuhan untuk menodai agama secara obyektif.

Persoalannya, hal ini hanya dapat dipenuhi jika hakim dapat mengesampingkan bias dan posisi pribadinya. Sebaliknya, hakim harus dapat menempatkan dirinya pada posisi yang independen dan imparsial secara obyektif. Hal ini lebih sulit karena berada di tengah dorongan pandangan pribadi dan tekanan massa yang sering kali ditemui dalam kasus-kasus seperti penodaan agama. Solusi ini tentu tidak dapat menyelesaikan seluruh persoalan, tapi mungkin inilah hal yang bisa dilakukan saat ini, terutama di tengah upaya untuk tidak mempertahankan delik penodaan agama ini dalam negara yang demokratis.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

3 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

7 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

22 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

23 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

43 hari lalu

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

46 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

46 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

52 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

53 hari lalu

Warga membawa beras dan bantuan presiden pada acara Penyaluran Bantuan Pangan Cadangan Beras Pemerintah di Gudang Bulog, Telukan, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis 1 Februari 2024. Presiden memastikan pemerintah akan menyalurkan bantuan 10 kilogram beras yang akan dibagikan hingga bulan Juni kepada 22 juta masyarakat Penerima Bantuan Pangan (PBP) di seluruh Indonesia. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

Berita terkini: Seruan pemakzulan Presiden Jokowi karena dugaan penyelewengan Bansos, gaji Ketua KPU yang terbukti langgar etik meloloskan Gibran.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

53 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.