Gutomo Bayu Aji
Peneliti LIPI
Kritik terhadap kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS) belakangan ini terpusat pada dua masalah. Pertama, redistribusi tanah obyek reforma agraria (TORA) yang meleset dari target, seperti luas dan jumlah bidang tanah, lokasi obyek redistribusi, dan subyek penerima manfaat yang tidak sesuai. Kedua, sertifikasi tanah sebagai implementasi sistem administrasi pertanahan dianggap mendukung agenda liberalisasi pertanahan Bank Dunia di dalam sistem pasar tanah.
Kritik itu secara tidak langsung juga telah membongkar proses pembuatan kebijakan RAPS yang bisa dikatakan prematur. Sebagai contoh, penetapan target TORA sebesar 9 juta hektare dan perhutanan sosial 12,7 juta hektare tidak dibuat berdasarkan kondisi lapangan. Penentuan luas dan lokasi didasari peta indikatif dengan skala 1:250 ribu yang tidak bisa mengidentifikasi batas-batas penguasaan tanah secara aktual, tumpang-tindih penguasaan lahan, serta relevansi obyek RAPS dengan subyek penerima manfaat, antara lain dari jarak lokasi, kondisi tanah dan lingkungan, sistem pengairan, dan infrastruktur pendukung lainnya.
Contoh lain adalah tafsir atas keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 mengenai hutan adat di dalam RAPS, yang menunjukkan bahwa peraturan perundangan yang berkaitan dengan hal itu belum disiapkan dengan baik. Selain Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang mandek, tafsir atas putusan MK, yaitu dari "hutan adat bukan hutan negara" menjadi "hutan adat bukan hutan negara yang dipertahankan fungsinya sebagai hutan oleh negara" menjadi tafsir yang bernuansa domestikasi. Hal ini setidaknya berbeda dengan tujuan perjuangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Dilihat dari perbandingan, total target 21,7 juta hektare itu hanya sekitar 11 persen dari luas daratan Indonesia, sekitar 17 persen dari luas kawasan hutan, dan kurang dari 30 persen dari total konsesi hak pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, dan hak guna usaha yang terdata secara resmi. Perbandingan ini belum menghitung bentuk-bentuk penguasaan tanah lain oleh negara dan swasta, seperti yang terakumulasi dalam bank tanah di kawasan-kawasan pangan, permukiman, industri, dan berikat. Dengan kata lain, total target itu masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan penguasaan tanah oleh negara dan swasta.
Masalah mendasar yang tidak disentuh sama sekali dalam kebijakan RAPS adalah struktur penguasaan tanah yang terakumulasi di lingkaran elite ekonomi-politik oligarki. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan itu bukan hanya prematur, tapi ada kemungkinan juga teledor. Implementasi kebijakan RAPS itu sekarang meleset dari target. Masalah struktur penguasaan tanah pun sebatas menjadi komoditas politik dalam debat calon presiden atau selama masa kampanye pemilihan presiden.
Maka, rasanya kurang relevan apabila beberapa kalangan meninjaunya dari segi dampak, sebagaimana cara pandang evaluatif yang mengemuka belakangan ini. Alih-alih meninjau dampaknya, kebijakan RAPS itu juga belum menyentuh banyak hal yang berkaitan dengan pasca-redistribusi, seperti teknologi produksi dan sistem budi daya, teknologi pengolahan pascapanen, distribusi produk dan redistribusi manfaat, serta lembaga ekonomi dalam sistem pemasaran.
Saat ini, ketimbang meninjau dampak yang belum tentu menemukan relevansinya, lebih penting menarik pembelajaran dari "kebijakan yang masih bayi" itu. Pada saat perencanaannya, kebijakan itu memang tampak lebih didorong oleh keberanian ketimbang kecermatan setelah dipetieskan dalam trauma masa lalu selama lebih dari setengah abad terakhir.
Tapi setidaknya kita bisa merawat keberanian itu ke dalam suatu refleksi tentang kebutuhan-kebutuhan-termasuk data, informasi, pendekatan, dan organisasi-yang bisa digunakan untuk menyusun strategi kebijakan reforma agraria yang kontekstual dengan zaman sekarang dan mempunyai daya rombak terhadap struktur penguasaan tanah itu.
Selain itu, sekarang tidak ada lagi kekuatan revolusi yang bisa menggerakkan agenda reforma agraria di dalam suatu "gebrakan cepat". Hampir semua partai politik tidak menunjukkan ketertarikan pada agenda ini. Sementara itu, kekuatan dari bawah, yang diimajinasikan sebagai people power, tidak pernah terbentuk hingga kini atau malah tersegmentasi ke dalam berbagai kepentingan yang berlainan arah.