Oce Madril
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
Jual-beli jabatan wakil rakyat adalah ancaman serius. Ada ribuan kursi jabatan anggota parlemen yang diperebutkan dan berpotensi diperjualbelikan. Transaksi koruptif terjadi dalam bentuk politik uang. Potensi masifnya politik uang itu semakin menguat ketika KPK membongkar ratusan ribu amplop yang disiapkan untuk "serangan fajar". Apakah Undang-Undang Pemilu mengantisipasinya?
Politik uang adalah persoalan hilir yang hulunya adalah soal dana kampanye. Buruknya pengaturan dan tata kelola dana kampanye akan berimbas tingginya praktik politik uang. Setidaknya pandangan ini terlihat dari berbagai kritik terhadap regulasi pemilu dan sejumlah kasus politik uang yang terjadi pada pemilu sebelumnya.
Beberapa kelemahan aturan dana kampanye, misalnya, berkaitan dengan sumber dana kampanye. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu, sumbangan dana kampanye dapat berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah dengan batasan nilai tertentu. Untuk perseorangan sejumlah Rp 2,5 miliar dan non-perseorangan Rp 25 miliar. Terlihat ada pembedaan antara penyumbang perseorangan dan badan usaha.
Namun apa yang disebut "kelompok"? Tidak ada definisi kelompok dalam undang-undang itu. Tidak jelas juga mengapa harus ada kelompok karena semestinya sudah cukup dengan kategori penyumbang individu dan badan usaha supaya lebih mudah dan jelas mengidentifikasi siapa saja penyumbang dana kampanye.
Ketentuan mengenai identitas yang jelas (meliputi nama, alamat, nomor pokok wajib pajak, serta keterangan tidak menunggak pajak dan tidak dalam keadaan pailit) juga sulit diterapkan untuk kelompok. Pada akhirnya, identitas kelompok diwakili oleh pimpinannya. Dengan pengaturan yang demikian, kelompok dapat digunakan untuk menyamarkan sumber dana kampanye. Dana-dana koruptif dapat disalurkan melalui jalur ini.
Pembatasan nilai maksimal sumbangan antara perseorangan dan badan usaha juga tidak ada artinya karena individu yang ingin menyumbang melebihi batas nilai maksimal dapat menggunakan jalur kelompok. Bahkan mereka dapat menyembunyikan identitasnya dengan mengatasnamakan kelompok.
Selain itu, sumbangan kampanye untuk partai politik peserta pemilu legislatif yang berasal dari calon legislator tidak dibatasi sama sekali. Dengan demikian, calon legislator dapat mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya dan dapat menjadi sarana menyamarkan dana sumbangan kampanye dari dana-dana gelap dan koruptif. Terwujudnya dana kampanye yang transparan dan akuntabel tidak akan tercapai dengan pengaturan seperti ini.
Berdasarkan laporan Badan Pengawas Pemilu, terdapat indikasi politik uang sebanyak 535 kasus dalam pemilihan kepala daerah 2018. Tingginya angka ini menjadi ancaman nyata bagi Pemilu 2019. Apalagi setelah operasi KPK yang menemukan 84 kardus berisi 400 ribu amplop berisi uang yang diduga akan digunakan untuk serangan fajar.
Sayangnya, kekhawatiran akan terjadinya politik uang ini tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang tegas. Berdasarkan data yang dilansir Bawaslu, hanya ada sembilan perkara politik uang yang telah diputus pengadilan. Perinciannya, tujuh perkara dihukum (dua perkara dengan hukuman percobaan) dan dua perkara tidak terbukti. Hukuman yang dijatuhkan pengadilan maksimal hanya 6 bulan penjara. Dengan potret penegakan hukum yang demikian, sulit diharapkan ada efek jera terhadap pelaku kejahatan politik uang.
Lemahnya penegakan hukum terhadap politik uang juga disebabkan oleh lemahnya pengaturan politik uang. Undang-Undang Pemilu tidak memberikan perhatian serius terhadap kejahatan politik uang. Walaupun ada beberapa pasal yang dianggap sebagai bentuk politik uang, itu pun mengandung kelemahan mendasar.
Pertama, ihwal subyek pelaku. Undang-undang hanya melarang pelaksana, peserta, dan tim kampanye (yang didaftarkan ke KPU). Aturan ini tidak akan dapat menjangkau pihak lain yang melakukan politik uang untuk dan atas nama pasangan calon presiden atau partai politik tertentu. Dengan begitu, politik uang yang dilakukan oleh pihak lain akan lepas dari jeratan hukum.
Kedua, sulitnya pembuktian unsur-unsur politik uang. Bagi-bagi uang yang dilakukan oleh calon legislator, partai, atau tim pendukungnya belum tentu termasuk politik uang, walaupun hal itu jelas-jelas ditujukan dalam rangka mempengaruhi pemilih. Waktu untuk memeriksa laporan politik uang juga sangat sempit.
Ketiga, Sentra Penegakan Hukum Terpadu, yang terdiri atas kepolisian, kejaksaan, dan Bawaslu, rentan tidak efektif akibat perbedaan pandangan setiap institusi dalam menilai kasus politik uang.
Dengan gambaran demikian, tidak mengherankan bila politik uang sulit diberantas. Sekarang harapan terbesar ada pada masyarakat pemilih yang harus tegas menolak segala bentuk politik uang.