Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Absurditas Golput

Oleh

image-gnews
Tren peningkatan golput menjelang Pilpres 2019.
Tren peningkatan golput menjelang Pilpres 2019.
Iklan

Sabiq Carebesth
Penyair dan Penulis Lepas

Seorang penulis yang namanya cukup tersohor dalam dunia sastra dan aktivisme Indonesia baru-baru ini menulis dalam laman Facebook tentang alasan dia memilih golput (tidak menggunakan hak pilih) dalam momentum pesta demokrasi 2019 ini. Di antara beberapa argumennya, dia menyatakan selamat tinggal kepada Jokowi dan memutuskan untuk golput.

Dia menyatakan bahwa pada era pemerintah saat ini hoaks merajalela, juga terbentuk garis diametral tegak lurus dan memisahkan masyarakat dalam kelompok-kelompok yang berseberangan. Kohesi sosial rapuh dan kebencian sesama warga mengemuka. Ia juga menyatakan Jokowi telah gagal memenuhi harapan paling penting bagi bangsa ini, yang saat kampanye pada 2014 menjadi harapan besar bagi pemilihnya, termasuk si penulis, yaitu penyelesaian masalah hak asasi manusia. Juga soal anggaran untuk kemakmuran rakyat, penanganan korupsi elite, dan problem struktural lainnya. Ia kecewa karena justru banyak orang dengan beban dosa masa lalu, terutama dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia, banyak mendapat ruang dan posisi strategis dalam pemerintahan Jokowi.

Argumennya faktual dan harus menjadi perhatian kita bersama. Tapi, bagi saya, hal itu terkesan menyederhanakan persoalan karena Jokowi dijadikan sebagai aktor tunggal yang layak dibebani dan dimintai tanggung jawab atas begitu banyak beban sejarah dan persoalan bangsa ini.

Fakta dan data yang ia sampaikan tidak ada yang salah, lebih-lebih sebagai suara kritis. Kita butuh argumentasi kontrol kekuasaan semacam itu untuk bangsa yang tengah berusaha melaju dari beban reformasi yang puluhan tahun mandek dan tersandera begitu banyak kepentingan.

Tapi saya melihat keterjebakan sudut pandang, yang sayangnya juga banyak mengemuka dalam argumentasi kebanyakan mereka yang hari ini memilih untuk tidak memilih (golput). Fakta yang meski benar sejatinya tidak kontekstual karena terisolasi dari realitas besar sosial dan sejarah sehingga menghasilkan tafsir keliru atas "kenyataan politik" Indonesia saat ini. Saya akan menyebutkan beberapa di antaranya.

Pertama, realitas oligarki. Lima tahun memimpin bangsa dengan beban sejarah monolitik dan oligopolistik hampir dalam semua lini kehidupan berbangsa selama 32 tahun jelas tidak cukup untuk membereskan semua krisis yang dihadapi Indonesia. Lebih-lebih reformasi 1998 juga gagal mentransformasi secara menyeluruh bangsa ini ke tujuan dan bentuk baru politik yang lebih moderat dan kosmopolit.

Kedua, sejarah warisan Orde Baru yang belum tuntas. Birokrasi dan paradigma budaya politik kita masih banyak mengamini cara-cara lama, baik dalam hal korupsi, kolusi, maupun nepotisme. Butuh kehendak politik sekaligus kesiapan generasi yang lebih kekinian untuk menggantikan cara, praktik, dan budaya politik Indonesia. Dan, sekali lagi, Jokowi sebagai pribadi tidak cukup dan tidak akan kuat dibebani itu semua seorang diri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketiga, fungsionalisme individual dalam melihat kepemimpinan. Banyak orang yang hari ini golput mengajukan argumen seolah-olah Indonesia sebagai bangsa yang bebas dari realitas global dan konfigurasi ekonomi-politik dunia, terutama perkembangan kapitalisme lanjut.

Keempat, golput hari ini lebih mendekati proses dari pilihan yang secara faktual tidak dialektis dan mengabaikan proses negasi menuju kualitas substansi demokrasi. Mengapa? Karena ia tidak dijadikan sebagai organisme intelektual dan massa, melainkan lebih ke sentimen individu.

Dengan empat hal yang saya sebutkan, saya berpandangan bahwa meski pilihan untuk tidak memilih adalah juga hak yang konstitusional, fenomena golput hari ini lebih menunjukkan suatu perasaan sentimental dan personal ketimbang sebagai keluhan dari sistem sosial dan kultural yang berkembang lima tahun ke belakang.

Bagi saya, sudah terlambat untuk golput dan pemilihan umum sudah di depan mata. Fakta-fakta negatif dan pesimisme sebagaimana dituliskan penulis tadi justru tengah berlangsung semakin masif. Haruskah kita memilih abai dan tidak terlibat?

Golput sudah terlambat karena pilihan untuk tidak memilih sejatinya bukan laku personal meski subyeknya individual. Golput seharusnya merupakan politik alternatif, dan karena itu subyeknya harus menuju suatu gerakan sosial. Sebab, ia merupakan jalan bagi kelompok politik alternatif untuk menarik atau mengembalikan realitas politik yang elitis agar kembali pada fitrahnya sebagai sarana artikulatif kepentingan rakyat.

Jadi, golput dalam momentum pemilihan umum kali ini adalah absurd. Bukan karena pilihan untuk tidak memilihnya, melainkan lebih pada latar belakang sikap yang tidak hanya inkonsisten, tapi juga pada dasarnya tidak punya tujuan yang berkaitan dengan perbaikan situasi politik dan kebangsaan yang kita inginkan. Alih-alih golput dalam situasi politik sekarang, saya merasa masih banyak argumen dan rasionalisasi untuk tetap aktif mengawal dinamika politik dan demokratisasi Indonesia.

Selamat memilih dan tegak lurus dalam demokrasi dan kebinekaan Indonesia. Saya sendiri akan memilih untuk memilih karena saya tidak ingin menjadi yang absurd, seperti Sisifus: sudah menjadi korban, harus pula yang menjalani hukuman.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Pemilu 2024: Dampak Pemungutan Suara Ulang

39 hari lalu

Ilustrasi pemilu. REUTERS
Pemilu 2024: Dampak Pemungutan Suara Ulang

Selain memastikan Pemilu 2024 berlangsung jujur dan adil, namun pemungutan suara ulang ternyata juga memiliki dampak negatif. Apa saja?


Tak Ingin Golput di Pemilu 2024, Tantri Kotak Akui Masih Galau Tentukan Pilihan

46 hari lalu

Tantri Syalindri atau Tantri Kotak. Foto: Instagram/@tantrisyalindri
Tak Ingin Golput di Pemilu 2024, Tantri Kotak Akui Masih Galau Tentukan Pilihan

Tantri Kotak mengaku masih galau mentenukan pilihan tapi juga tak ingin golput dalam Pemilu 2024


Ternyata Mengajak Golput Bisa Dijatuhi Sanksi Pidana, Begini Aturannya

48 hari lalu

Ilustrasi Golput. REUTERS
Ternyata Mengajak Golput Bisa Dijatuhi Sanksi Pidana, Begini Aturannya

Menjadi golput alias tak gunakan hak pilih dalam Pemilu merupakan hak politik warga negara Indonesia. Tapi, sanksi pidana bagi mereka mengajak golput.


Golput Pernah Jadi Sebuah Gerakan, Berikut 6 Kerugian Tak Gunakan Hak Pilih Saat Pemilu

48 hari lalu

Ilustrasi golput. Rnib.org.uk
Golput Pernah Jadi Sebuah Gerakan, Berikut 6 Kerugian Tak Gunakan Hak Pilih Saat Pemilu

Golputt pernah menjadi sebuah gerakan pada 1971. Ternyata, sejumlah kerugian akibat tidak gunakan hak memilih dalam Pemilu. Apa saja?


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

48 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


Tokoh Lintas Agama Ajak Masyarakat Tak Golput di Pemilu 2024

51 hari lalu

Forum Peduli Indonesia Damai yang terdiri dari Waketum MUI Kyai Marsudi Suhud, Ketum Permabudhi Prof Philip Wijaya, Keuskupan Agung Jakarta Romo Kardinal Ignatius Suharyo, Ketum Matakin Xueshi Budi Tanuwibowo, Ketum PDHI Mayjen Wisnu Bawa Tenaya, Ketum PGI Pdt Gomar Gultom, dan Pimpinan Spiritual Nusantara Sri Eko Galgendu saat menyerukan Indonesia Damai dalam Pemilu 2024 di Grha Oikoumene, Jakarta Pusat, Senin, 5 Februari 2024. TEMPO/Bagus Pribadi
Tokoh Lintas Agama Ajak Masyarakat Tak Golput di Pemilu 2024

Forum Peduli Indonesia Damai yang terdiri dari delapan tokoh lintas agama menyerukan damai untuk Pemilu 2024.


Kenapa Orang Pilih Golput saat Pemilu? Ini Alasannya

55 hari lalu

Ilustrasi kenapa orang pilih golput. Foto: Canva
Kenapa Orang Pilih Golput saat Pemilu? Ini Alasannya

Menjelang Pemilu, tak sedikit orang yang memutuskan untuk golput. Lalu apa sebenarnya alasan orang pilih golput? Berikut ini beberapa dampaknya.


Ingatkan Netizen agar Tidak Golput, Enzy Storia: Hak Suara Kita Penting

56 hari lalu

Enzy Storia/Foto: Instagram/Enzy Storia
Ingatkan Netizen agar Tidak Golput, Enzy Storia: Hak Suara Kita Penting

Sebagai figur publik, Enzy Storia mengingatkan pengikutnya agar tidak golput dan memilih pemimpin dengan bijak.


Pesan Natal Uskup Agung Jakarta: Situasi Politik Tak Ideal tapi Tak Boleh Golput

26 Desember 2023

Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo (tengah), berbicara saat konferensi pers terkait Misa Natal di Katedral Jakarta pada 25 Desember 2023. (ANTARA/Asep Firmansyah)
Pesan Natal Uskup Agung Jakarta: Situasi Politik Tak Ideal tapi Tak Boleh Golput

Begini pesan Natal Uskup Agung Jakarta selengkapnya yang sentil rezim penguasa juga DPR RI tentang tujuan penyelenggaraan negara.


Cerita Warga Tangerang Mantap dengan Anies, tapi Ragukan Cak Imin

23 Desember 2023

Capres Koalisi Perubahan Anies Baswedan menghadiri acara Desak Anies di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 22 Desember 2023. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
Cerita Warga Tangerang Mantap dengan Anies, tapi Ragukan Cak Imin

Seorang warga Tangerang menghadiri acara Desak Anies di Jakarta Pusat kemarin. Dia menceritakan sudah mantap dengan Anies, tapi ragukan Cak Imin.