PEPATAH sedia payung sebelum hujan agaknya tak berlaku bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Alih-alih membuat tanggul dan membereskan problem sungai ketika kemarau, mereka baru sibuk mengatasi banjir ketika musim hujan. Walhasil, banjir di Jatipadang, Jakarta Selatan, yang rutin terjadi tiap tahun, kembali terulang tahun ini.
Ironisnya, Wali Kota Jakarta Selatan Marullah Matali mengaku tak tahu problem dasar Kali Pulo yang tanggulnya acap jebol itu. Padahal, pada setiap rezim pemerintahan di Jakarta, air kali ini selalu membeludak karena sungai menyempit. Di kiri-kanan sungai tumbuh bangunan liar yang membuat arus air menjadi deras sehingga meluber dan menjebol tanggul yang dibuat seadanya.
Masalah sederhana ini tak bisa diselesaikan pemerintah Jakarta. Alih-alih membersihkan bantaran kali sebagai masalah pokok banjir di sana, pemerintah malah membuat tanggul dengan kayu dan beton. Akibat penyelesaian masalah yang serampangan ini sudah bisa ditebak: banjir kembali terjadi.
Maka, satu-satunya cara agar Kali Pulo tak meluap adalah mengembalikannya ke bentuk semula. Kali Pulo sejak mula memiliki lebar 15-20 meter. Jika kini menyempit menjadi hanya 1-2 meter karena "ditumbuhi" bangunan, pemerintah harus menjadikannya kembali selebar itu. Banjir di Jatipadang itu sesungguhnya bukan karena sungai meluap, melainkan lantaran manusia merampas jalan mengalirnya.
Gubernur Anies Baswedan menyebutnya naturalisasi-agar tampak beda dengan istilah normalisasi yang menjadi kebijakan gubernur sebelumnya. Naturalisasi memang beda dengan normalisasi, karena normalisasi lebih berupa pembuatan kanal sungai dengan beton, bukan mengembalikan sungai ke keadaan normalnya: berkelok-kelok, tumbuh ilalang di sekitarnya, dan memiliki sempadan.
Untuk kasus sungai-sungai di Jakarta, kedua cara menangani sungai itu menuntut penanganan yang sama: memindahkan penduduk yang merampas badan sungai. Solusi ini perlu negosiasi, karena pemerintah sudah lama membiarkan masyarakat mengokupasi badan sungai tanpa pencegahan. Mereka beranak-pinak di sana. Memindahkan mereka dengan menggusur hanya akan menimbulkan problem sosial lain yang penanganannya lebih berat.
Memberi "ganti rugi" atau memindahkan mereka ke rumah susun bisa menjadi solusi membenahi Jakarta. Penduduk harus disadarkan bahwa mereka tinggal di tempat terlarang sehingga harus dibujuk agar bersedia pindah ke tempat-tempat yang disediakan pemerintah.
Strategi dan jargon Gubernur Anies adalah keberpihakan. Maka, jika ia mengkritik cara Basuki Tjahaja Purnama, gubernur sebelumnya, dalam menggusur penduduk di sekitar sungai karena menimbulkan problem rumit kultur masyarakat, Anies mesti punya cara jitu membereskan Jakarta seraya tetap berpihak kepada rakyat miskin kota.
Persoalan Jakarta sejak 1980-an adalah drainase. Bangunan-bangunan tumbuh tanpa menimbang aliran air, padahal Ibu Kota berada di dekat laut yang teraliri 13 sungai dari arah selatan. Jika kota ini melawannya, itu sama saja dengan menantang hukum alam yang tak bisa dihadang.