POLITIK uang dalam pemilihan umum tampaknya belum berkurang. Pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan 400 ribu amplop berisi uang pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu dengan nilai total Rp 8 miliar, milik anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Bowo Sidik Pangarso. Politikus Partai Golkar itu disinyalir menyiapkan dana tersebut untuk menyogok pemilih pada hari pemilihan alias "serangan fajar". Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu), dan aparat mesti mengetatkan pengawasan pada pemilu mendatang.
Bowo adalah anggota parlemen dari daerah pemilihan Jawa Tengah 2, yang mencakup wilayah Kabupaten Kudus, Jepara, dan Demak, yang kembali mencalonkan diri. Dia ditangkap KPK dalam kaitan dugaan suap dalam kerja sama penyewaan kapal antara PT Humpuss Transportasi Kimia dan PT Pupuk Logistik Indonesia-anak usaha PT Pupuk Indonesia (Persero).
Patut diduga Bowo bukan satu-satunya politikus yang berniat membeli suara rakyat pada pemilihan mendatang. Berdasarkan penelitian, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan 25–33 persen calon pemilih legislator pada 2014 pernah ditawari uang, barang, atau jasa.
Penelitian itu menyimpulkan politik uang dapat meningkatkan elektabilitas seorang calon legislator sebanyak 10–13 persen. Dalam banyak kasus, itu sangat cukup karena rata-rata calon legislator hanya membutuhkan selisih suara 1,65 persen untuk mengalahkan rekan separtai.
Karena itu, pencegahan harus secepatnya dilakukan. Masih ada waktu untuk berbagai upaya pencegahan menjelang pemilihan pada 17 April nanti. Kalau perlu, Bawaslu secepatnya mengaktifkan tim patroli pencegahan politik uang, tidak menunggu hingga masa tenang. Patroli bisa dikonsentrasikan pada daerah-daerah yang rawan politik uang seturut indeks kerawanan pemilu. Adapun polisi dapat membantu mempercepat sosialiasi dan melakukan penegakan hukum.
Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) dapat dijadikan petunjuk awal. Menurut ICW, modus politik uang dalam pemilu lalu kebanyakan berupa pemberian uang, makanan, pakaian, barang elektronik, voucher, sepeda motor, bahkan bangunan. Ada calon yang menjanjikan jasa tertentu kalau terpilih.
Perlu diingat pula, efek jera sulit didapatkan jika yang dijerat hanya pelaku lapangan. KPU, Bawaslu, dan polisi juga mesti berupaya menjerat pemilik uang. Kerja sama dengan KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dapat membantu Bawaslu menelusuri pengiriman uang dalam jumlah besar, yang mungkin akan dipakai dalam aksi politik uang.
Selanjutnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu memperbaiki aturan-aturan yang berkaitan dengan politik uang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sebagai contoh, hanya mengatur politik uang oleh tim kampanye, peserta pemilu, atau pelaksana pemilu. Seharusnya, pelaku di luar kelompok itu yang membantu calon juga dijerat. Seperti yang diduga terjadi pada Bowo, pihak lainlah yang menyediakan uang untuk rencananya melakukan "serangan fajar".