Janji revitalisasi dan pembenahan lembaga pemasyarakatan oleh Kementerian Hukum dan HAM patut dipertanyakan. Potret pilu-kalau bukan ironi-silih berganti muncul dari lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara di berbagai sudut Indonesia. Dari penjara para koruptor kakap hingga bui kriminal kelas teri, ceritanya sama: pungli dan suap.
Yang terbaru adalah temuan penderitaan penghuni Rumah Tahanan Kelas I Tangerang, atau yang lebih dikenal dengan nama Rutan Jambe, berdasarkan letaknya. Belum sebulan menghuni rutan itu, seorang tahanan dan keluarganya mengeluh sudah mengeluarkan biaya sekitar Rp 15 juta. Sebanyak Rp 6 juta digunakan untuk memperoleh kamar atau sel selepas masa pengenalan lingkungan.
Uang dibayarkan kepada sesama tahanan yang menjadi kepala kamar atau blok, tapi sulit dipercaya kalau petugas tak mengetahuinya. Atau bisa jadi petugas terlibat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan aturan turunannya, jelas dijabarkan tanggung jawab kepala pemasyarakatan dan kepala rumah tahanan untuk merawat serta membina warganya. Termasuk urusan penempatan setiap warga binaan di sel masing-masing.
Pungli juga berlaku untuk kunjungan keluarga dan kebutuhan lain di dalam penjara, dari jatah makan hingga kebutuhan buang air besar di toilet, semua fasilitas yang menjadi tanggung jawab rutan. Sangat memilukan temuan cerita tahanan yang memilih irit makan dan minum karena tak kebagian jatah toilet tanpa membayar.
Cerita pungli dan jual-beli fasilitas tak cuma terjadi di Rutan Jambe. Awal bulan ini, Ombudsman Jakarta Raya mengumumkan temuan serupa di Rutan Kota Depok. Atau masih kita ingat perkara Wahid Husen, bekas Kepala Lapas Sukamiskin, yang kini dituntut penjara 9 tahun karena suap barter fasilitas mewah.
Kelebihan penghuni kerap dijadikan kambing hitam atas segala masalah di dalam penjara. Rutan Jambe, misalnya, yang berkapasitas 600 tahanan, diisi 1.918 orang, sementara yang jaga cuma 100 petugas.
Penambahan kapasitas memang tak terelakkan. Tapi membangun tambahan kapasitas saja tak menjamin memberi solusi. Kementerian Hukum dan HAM mesti memprioritaskan juga penambahan sumber daya manusia sebagai penjaga tahanan. Pengawasan yang lemah adalah simpul lain dari rahasia umum lembaga pemasyarakatan yang justru menjadi surga bagi para penjahat.
Revitalisasi yang dicanangkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami juga tak akan berhasil jika sebatas mengandalkan sentuhan gender. Dia adalah dirjen perempuan pertama yang mengurusi pemasyarakatan. Keberaniannya dalam bidang pengawasan harus ditingkatkan lagi. Jika pengawasan lemah, siapa pun dirjennya, lelaki atau perempuan, tak akan membuahkan perbaikan.
Mental korup penjaga dan pejabat yang selama ini menjadikan rutan atau lapas sebagai lahan korupsi harus diperangi terus. Penjara sebagai benteng terakhir sistem pemberian sanksi bisa hancur berantakan karena korupsi yang terjadi.
Kalau Sri Puguh tak ingin pilu di Rutan Jambe berlanjut dan berharap semua ironi di lembaga pemasyarakatan ditekan, buatlah sistem hukum dan sanksi efektif. Jika sistem itu sudah dibuat, janganlah kemudian dirusak oleh aparat yang korup. Sia-sia negara mengeluarkan banyak uang untuk itu.