Komisi Pemilihan Umum akhirnya mencoret sebelas partai politik sebagai kontestan pemilu di sejumlah daerah. Sanksi ini semakin memperlihatkan sisi kelam sistem kepartaian. Sebagian partai politik sulit berkembang di daerah, bahkan mengalami semacam krisis ideologi. Kalaupun ada partai yang maju pesat, itu lebih karena terdongkrak oleh figur calon presiden.
Banyak partai belum memiliki pengurus di sejumlah daerah. Mereka akhirnya tak membuat laporan awal dana kampanye, yang harus diajukan dua pekan sebelum kampanye terbuka. Hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai NasDem, dan Partai Gerindra yang menyerahkan laporan tersebut secara lengkap di semua daerah pemilihan.
Adapun sebelas partai yang gagal menyerahkan laporan dana kampanye di sejumlah daerah adalah Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Hanura, Perindo, PSI, PBB, PKPI, Partai Berkarya, dan Partai Garuda. Sesuai dengan Undang-Undang Pemilu, partai politik yang tidak membuat laporan tersebut terkena sanksi pembatalan sebagai peserta pemilu di daerah.
Sanksi tersebut menggambarkan sulitnya partai-partai mengepakkan sayap di daerah. Umumnya, mereka tidak melaporkan dana kampanye di suatu wilayah karena tak memiliki cabang atau tidak mengusung calon legislator daerah. Untuk partai-partai baru, seperti Partai Garuda atau PSI, hal ini bisa dimaklumi. Hanya, sangat mengherankan bila partai seperti PKB, PKS, PPP, dan PAN, yang telah cukup lama berkiprah, masih sulit berkembang.
Fenomena itu boleh jadi berkaitan dengan melemahnya ideologi partai politik sehingga tidak lagi memiliki daya pikat. Partai seperti kehilangan relevansinya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Partai politik pun tak mampu menjalankan fungsi pokok, seperti menyalurkan aspirasi masyarakat dan melakukan rekrutmen politik.
Sederet hasil survei politik jelas menunjukkan bahwa partai politik yang berkembang pesat pun lebih disebabkan oleh figur calon presiden. Partai Gerindra dan PDIP diprediksi akan semakin besar karena keduanya memiliki kader yang maju sebagai calon presiden. Kecenderungan seperti ini dulu terjadi pada Partai Demokrat, yang terdongkrak oleh figur Susilo Bambang Yudhoyono.
Kalangan petinggi partai politik, baik besar maupun kecil, perlu menyadari krisis sistem kepartaian itu. Partai politik jelas merupakan pilar demokrasi. Tanpa keberadaan partai politik, tak ada wadah formal yang menampung aspirasi masyarakat dan menyalurkannya lewat parlemen. Partai politik perlu memperbarui platform atau ideologinya agar mampu merebut hati masyarakat.
Pencoretan sebelas partai dari daftar kontestan pemilu di sejumlah daerah hanyalah menggambarkan sebagian gejala sisi kelam sistem kepartaian. Penyelenggara negara semestinya segera mencari solusi atas masalah ini. Jangan biarkan kualitas demokrasi merosot karena partai-partai tidak lagi memiliki akar dalam masyarakat.