TEKNOLOGI di tangan lembaga yang tepat bisa membongkar praktik curang industri sawit dalam menghindari kewajiban pajak. Komisi Pemberantasan Korupsi membuktikan hal itu ketika mengumumkan hilangnya potensi penerimaan negara akibat ketidaksesuaian data lapangan dengan laporan pelaku industri sektor ini. Temuan tersebut semestinya dilanjutkan dengan tindakan terhadap mereka yang terbukti melakukan kejahatan pajak, sekaligus menjadi bahan perbaikan untuk mencegah terus berulangnya praktik serupa di masa depan.
Komisi antikorupsi mengungkapkan temuannya, pekan lalu, setelah menganalisis pemetaan tutupan sawit menggunakan citra satelit resolusi tinggi milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sepanjang 2014-2016. Analisis ini menemukan jutaan hektare lahan sawit yang tak terdata sehingga pemiliknya tidak dikenai pajak. Membandingkan data citra satelit itu dengan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan Statistik Perkebunan Indonesia pada 2016, KPK menyimpulkan ada 5,5 juta hektare lahan sawit siluman di 25 provinsi. Sebagian di antaranya bahkan berada di dalam kawasan hutan.
Temuan tersebut memberikan konfirmasi tentang praktik penghindaran pajak oleh banyak perusahaan sawit. Selama ini, lonjakan produksi dan ekspor produk sawit tak sebanding dengan penerimaan negara dari industri ini. Harga sawit di pasar internasional memang mempengaruhi penerimaan pajak, yang menurun dalam beberapa tahun ini. Namun rasio penerimaan pajak sektor ini jelas jauh dari optimal. Tax ratio industri sawit hanya 6-7 persen dari PDB sektor yang samalebih rendah daripada tax ratio nasional 11-12 persen dari PDB. Artinya, kepatuhan pajak sektor ini rendah. KPK juga menemukan banyak korporasi sawit yang tak punya nomor pokok wajib pajak. Data juga mencantumkan, pemilik 1,5 juta hektare industri sawit di Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau tak tercatat dalam data Direktorat Jenderal Pajak.
Sejauh ini, Direktorat Jenderal Pajak menyatakan telah menindaklanjuti temuan KPK itu dengan menerbitkan sekitar 67 ribu surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan (SP2DK). Langkah ini disebut telah menambah penerimaan pajak dari industri sawit. Namun investigasi lanjutan semestinya bisa dilakukan untuk memproses kekurangan pajak dari banyak perusahaan. Data komisi antirasuah jelas mengungkapkan kembali borok sistem perizinan perkebunan sawit. Temuan tutupan sawit di atas kawasan hutan mengindikasikan adanya penerbitan izin yang tidak sesuai dengan prosedur. Untuk mencegah terulangnya hal yang sama, validasi dan integrasi data lintas kementerian dan lembaga tentang lahan perkebunan mendesak dilakukan.
Moratorium perizinan lahan sawit yang diputuskan pemerintahan Joko Widodo perlu dilanjutkan, sembari menyusun sistem terintegrasi untuk mencegah kecurangan terus berlanjut. Penggunaan teknologi, seperti yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, sebaiknya juga diterapkan. Masa moratorium menjadi kesempatan untuk melakukan sinkronisasi data, demi mengoptimalkan penerimaan negara. Hal ini juga penting untuk memastikan pembukaan lahan sawit bisa dikontrol, dan pada gilirannya menurunkan laju deforestasi yang selama ini menjadi isu penting dalam diplomasi internasional Indonesia.