Arif Nurdiansah
Peneliti Tata Kelola Pemerintahan Lembaga Kemitraan
Rencana Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk memberikan rapor sebagai basis penentuan reward dan punishment kinerja kabupaten/kota di bawahnya perlu diapresiasi dan didukung. Langkah ini akan menempatkan kembali peran provinsi, baik sebagai pembina dan pengawas terhadap penyelenggaraan tata kelola pemerintahan maupun koordinator pembangunan antar-kabupaten/kota serta melakukan peninjauan usulan anggaran dan produk perundang-undangan, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Upaya ini juga sebagai bagian dari akuntabilitas kinerja gubernur kepada publik. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur juga bertanggung jawab untuk melaporkan jalannya pemerintahan di bawahnya kepada presiden dan kepada publik yang telah memilihnya.
Bagi daerah, rapor kinerja yang dilakukan oleh provinsi akan menciptakan persaingan sehat antar-daerah. Apa yang dapat ditawarkan provinsi kepada daerah dengan rapor terbaik sebagai insentif? Sedikitnya terdapat tiga mekanisme yang dapat dijadikan rujukan untuk memberi insentif kepada daerah dengan kinerja terbaik. Pertama, provinsi mendapat anggaran dari pusat sebagai bagian dari pembinaan dan mengurangi kesenjangan antar-daerah, salah satunya melalui mekanisme dana dekonsentrasi, yang aturannya melekat pada fungsi koordinasi gubernur.
Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018, yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah, telah memberikan kewenangan kepada provinsi untuk merekomendasikan kepada pusat usul dana alokasi khusus untuk daerah. Ketiga, mekanisme insentif berupa non-anggaran. Misalnya, wilayah yang memiliki rapor kinerja tinggi mendapat prioritas dalam pembangunan infrastruktur dan dipromosikan sebagai wilayah wisata atau investasi. Ini menjadi terobosan yang akan menarik daerah untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik karena insentif itu akan meningkatkan potensi daerah untuk dikunjungi wisatawan dan investor.
Pengukuran kinerja daerah perlu memperhatikan prinsip yang menjunjung tinggi partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Jika tidak, alih-alih ingin memperbaiki kinerja dan menciptakan iklim persaingan yang sehat, pengukuran justru dianggap tidak adil dan condong pada dukungan kepada pemimpin daerah yang berasal dari satu partai atau partai-partai pengusung gubernur.
Gubernur Jawa Barat dan pemimpin provinsi lain di Indonesia memiliki beberapa alternatif pengukuran yang selama ini telah dilakukan, seperti Indeks Reformasi Birokrasi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Kementerian Dalam Negeri melalui Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD).
Ada juga pengukuran yang dilakukan oleh organisasi nonpemerintah, seperti Indeks Persepsi Korupsi oleh Transparansi Internasional Indonesia yang mengukur tingkat korupsi dan Local Economic Governance Index (LEGI) oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah yang mengukur sejauh mana pemerintah daerah mengelola perekonomiannya untuk menarik investasi berdasarkan persepsi pelaku usaha.
Ada pula Indonesia Governance Index (IGI) oleh Kemitraan yang melihat sejauh mana kualitas tata kelola pemerintahan sebuah daerah berdasarkan interaksi empat aktor, yakni pejabat politik, birokrasi, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi.
Interaksi empat aktor itu diukur karena praktik pemerintahan yang buruk kerap melibatkan pemerintahan yang bekerja sama dengan pihak eksternal, baik pengusaha maupun masyarakat sipil. Sebagai contoh, godaan dari masyarakat atau pengusaha yang mencoba memberi imbalan atau suap dalam mengurus perizinan atau pelayanan publik akan membuat birokrasi tergoda. Demikian juga sebaliknya, ketika pemerintah dan birokrasi menarik pungutan liar, masyarakat akan tergoda untuk memberikan demi mendapatkan layanan yang cepat. Pembenahan empat aktor itu akan sangat menentukan wajah tata kelola pemerintahan sebuah daerah.
Sudah saatnya rapor kinerja pemerintah daerah memiliki ukuran yang jelas dan terukur, bersifat universal, serta membandingkan dengan wilayah lain agar publik mendapatkan pelayanan dengan kualitas terbaik. Peluang pengukuran ini salah satunya dapat dilakukan oleh pemerintah provinsi. Akankah Gubernur Ridwan Kamil mengambil tanggung jawab mulia ini dan menjadi yang pertama di Indonesia untuk menerapkan amanat undang-undang yang selama ini belum serius dilaksanakan?