Sengkarut sertifikasi mass rapid transit semestinya tak perlu terjadi. Belum rampungnya urusan standardisasi ini mencerminkan tidak sinkronnya langkah pemerintah dengan PT MRT Jakarta, perusahaan yang membangun dan mengoperasikan kereta MRT. Keduanya memiliki standar berbeda. MRT Jakarta menggunakan standar dari Jepang, sedangkan Kementerian Perhubungan punya acuan sendiri.
Di antara empat sertifikasi yang diterbitkan Kementerian Perhubungan, PT MRT Jakarta belum memiliki sertifikat prasarana dan sarana. Selebihnya, MRT Jakarta sudah mengantongi sertifikat sumber daya manusia, rekomendasi teknis penilaian keselamatan, dan rekomendasi teknis sistem manajemen keselamatan perkeretaapian. Sederet sertifikasi ini menjadi standar kelaikan layanan transportasi untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan penumpang.
Salah satu hal yang mengganjal terbitnya sertifikasi prasarana dan sarana MRT, misalnya, Kementerian mensyaratkan dua pintu masuk di setiap stasiun. Di beberapa stasiun, PT MRT Jakarta baru menyediakan satu pintu masuk. Tapi apakah dua pintu masuk atau cukup satu pintu masuk menjadi relevan untuk kondisi stasiun yang kecil? Bukankah patokan utamanya adalah keselamatan dan kenyamanan penumpang
Urusan pengeras suara di dalam kereta juga menuai kritik. Masyarakat yang mengikuti uji coba MRT selama tiga hari ini mengeluhkan pengumuman yang keluar dari pengeras suara kurang jelas sehingga penumpang tidak tahu sedang berada di stasiun apa. Adapun rute MRT dari Bundaran Senayan sampai Bundaran Hotel Indonesia berada di bawah tanah dan pemandangan di jendela hanya dinding gulita. Lift di sejumlah stasiun layang juga belum berfungsi.
Perihal sertifikasi, PT MRT Jakarta semestinya proaktif berkomunikasi untuk memenuhi segala standar yang disyaratkan pemerintah sejak tahap konstruksi dimulai pada Oktober 2013. Bukan ketika sudah hampir mendekati tenggat beroperasi pada 27 Maret 2019 dan telah diuji coba, sementara prasarana dan sarana proyek senilai Rp 16 triliun ini belum rampung 100 persen.
PT MRT Jakarta tak perlu memaksakan uji coba jika semata ingin mengetahui antusiasme masyarakat terhadap moda transportasi baru tersebut. Sebab, masyarakat sudah jenuh menghadapi masalah kemacetan yang tak kunjung rampung dan ingin menjajal kereta cepat seperti di luar negeri. Mereka tentu penasaran bagaimana rasanya perjalanan dari Stasiun Lebak Bulus ke Stasiun Bundaran Hotel Indonesia sejauh 16 kilometer hanya dalam tempo 30 menit.
Terlepas dari urusan sertifikasi dengan acuan yang berbeda, satu hal yang harus menjadi perhatian adalah konektivitas antar-moda transportasi. Setelah penumpang MRT sampai di Stasiun Bundaran Hotel Indonesia, mereka tidak bisa dengan mudah berpindah moda transportasi ke bus Transjakarta, kereta rel listrik, atau kereta bandara, misalnya. Meski halte dan stasiun setiap moda transportasi itu berada di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, akses satu sama lain terputus, sehingga penumpang terpaksa keluar dari stasiun atau halte untuk mencapai sarana transportasi yang lain.