Penangkapan Ketua Forum Masyarakat Nelayan Kampung Dadap, Waisul Kurnia, menambah satu bukti kemunduran demokrasi di Tanah Air. Ia mengajukan protes karena rezeki para nelayan terganggu. Hak berpendapat seperti itu seharusnya mendapat respons yang baik, bukan malah berujung kriminalisasi.
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya mencokok Waisul pada Rabu malam pekan lalu. Meski dilepaskan sehari kemudian, ia kini berstatus wajib lapor. Cerita bermula saat Waisul mengeluhkan pembangunan jembatan yang menghubungkan kawasan Pantai Indah Kapuk 2 dengan Pulau C hasil reklamasi, pertengahan Juli tahun lalu.
Waisul mengatakan proses konstruksi menyebabkan nelayan terpaksa melaut lebih jauh. Ikan-ikan menjauh akibat terganggu kebisingan pembangunan jembatan. Sejumlah media massa ramai-ramai mengutip keluhan itu. Pernyataan itu juga tersebar di media sosial.
Tapi kontraktor jembatan, PT Kapuk Naga Indah, melaporkan Waisul ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada September 2018, dan ia pun dijerat dengan pasal pencemaran nama. Menggunakan pasal ujaran kebencian dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Waisul dituduh menyebarkan kabar bohong. Dia mengajukan gugatan praperadilan pada Februari lalu, namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolaknya.
Waisul acap bersikap kritis terhadap pembangunan pulau-pulau reklamasi di sekitar Teluk Jakarta. Ia dan para nelayan berhak berpendapat dan menyampaikan aspirasi jika merasa dirugikan ihwal pembangunan. Kritik itu seharusnya ditanggapi dengan baik, misalnya dengan menjelaskan dampak positif pembangunan jembatan, jika ada. Penetapannya sebagai tersangka seolah-olah memperlihatkan bahwa hukum lebih peduli kepada pengusaha.
Kasus ini juga cerminan dari kebebasan berpendapat yang kian mahal hari-hari ini. Sehari setelah pembebasan Waisul, polisi menangkap dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, karena dianggap menghina Tentara Nasional Indonesia. Padahal Robet sedang mengingatkan publik agar mewaspadai kembalinya dwifungsi TNI.
Sama seperti Waisul, Robet dipaksa "menginap" di kantor polisi dan sehari semalam menjalani pemeriksaan serta pemberkasan. Saat ini keduanya masih berstatus tersangka.
Negara menjamin hak penduduk untuk berkumpul dan berpendapat. Hal ini tercantum secara jelas dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan berpendapat juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia menyebutkan berpendapat adalah hak. Artinya, negara seharusnya memberikan tempat yang baik kepada masyarakat yang berpikir kritis, bukan malah menangkap mereka.
Kriminalisasi terhadap Waisul, Robet, dan para pengkritik lainnya harus dihentikan. Mereka hanya menggunakan haknya sebagai warga negara. Waisul yang berdomisili di sekitar pulau-pulau buatan, misalnya, sepatutnya waswas terhadap dampak negatif reklamasi dan pembangunan jembatan. Reformasi telah membebaskan publik bersuara, jangan sampai terjadi lagi pembungkaman pendapat seperti di masa Orde Baru.