Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Bunga Acuan dan Makroprudensial

image-profil

image-gnews
Suku Bunga Naik, BI Yakin Rupiah Menguat
Suku Bunga Naik, BI Yakin Rupiah Menguat
Iklan

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic and Educational Business Institute Jakarta

Sepasang bola sedang digelindingkan Bank Indonesia (BI). Bola pertama berupa kebijakan moneter. Sepanjang tahun lalu, misalnya, BI agresif menaikkan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) hingga di level 6 persen. Total frekuensi kenaikan suku bunga sebanyak enam kali dengan akumulasi 175 basis poin.

Kenaikan suku bunga acuan itu lebih bersifat merespons kebijakan The Fed, bank sentral Amerika Serikat, guna menahan pelemahan rupiah. Dalam skenario BI, kenaikan suku bunga acuan akan mempersempit suku bunga diferensial lintas negara sehingga menjadi insentif bagi pemodal asing untuk menahan modalnya di pasar keuangan Indonesia.

Skenario tersebut bukannya tanpa efek samping. Kondisi ini membawa pasar uang domestik masuk ke rezim suku bunga tinggi. Imbal hasil (return) instrumen finansial lainnya pun ikut terkerek sehingga terjadi migrasi dana menuju aset keuangan lain yang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi.

Likuiditas perbankan terkena dampaknya. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebagai sumber utama dana kelolaan bank terus melambat. Jika keadaan ini terus berlanjut, kemampuan bank menyalurkan kredit niscaya akan menyusut dan ujung-ujungnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Baca Juga:

Bola kedua adalah kebijakan makroprudensial. Selama periode yang sama, BI gencar meramu bauran kebijakan. Ketentuan giro wajib minimum rata-rata yang harus disetorkan ke kas BI dalam rentang waktu dua minggu diperlonggar, dari semula 2 persen menjadi 3 persen atas DPK.

Berbarengan dengan itu, rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) dinaikkan, dari 2 persen menjadi 4 persen, yang dapat diajukan sebagai repurchase agreement (repo) ke BI. Repo adalah kontrak jual atau beli efek dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan. Artinya, bank dapat menggunakan PLM, yang merupakan surat-surat berharga, secara keseluruhan sebagai dasar untuk melakukan repo ke BI.

Pemangkasan uang muka kredit (LTV) untuk perumahan dan kendaraan bermotor patut memperoleh catatan khusus. Pelonggaran LTV ini bersentuhan langsung dengan sektor riil, khususnya komponen konsumsi. Konsumsi rumah tangga yang belakangan mengalami gejala stagnasi agaknya menjadi bidikan BI.

Sehimpun kebijakan makroprudensial tersebut niscaya mendorong likuiditas perbankan sehingga tercipta ruang bagi perbankan untuk mengelola likuiditasnya secara lebih produktif. Karena itu, kemampuan perbankan menyalurkan pinjaman menjadi lebih besar. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi akan terakselerasi.

Hanya, garis finis gelindingan bola kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial saling berlawanan. Kebijakan moneter bersifat prosiklikal, sementara kebijakan makroprudensial tipikal kontrasiklikal. Artinya, kemunculan salah satu dampak kebijakan akan menanggalkan dampak kebijakan yang satunya. Resultan akhirnya pada pertumbuhan ekonomi bisa jadi nihil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan pertimbangan ini, masuk akal apabila pelaku pasar keuangan menangkap kesan seolah-olah BI tidak memiliki skala prioritas antara suku bunga acuan dan likuiditas untuk stabilisasi nilai tukar demi menenangkan pasar.

Momen kenaikan suku bunga acuan dan relaksasi makroprudensial yang bersamaan (per November 2018) memperkuat kesan BI kewalahan menanggulangi masalah depresiasi nilai tukar dan likuiditas. Akibatnya, dampak stabilisasi dan/atau pertumbuhan yang akan disasar oleh BI semakin berat, bahkan mungkin keduanya bakalan tidak tercapai.

Suku bunga dan likuiditas saling bertalian, ibarat ayam dengan telur. Kenaikan suku bunga menipiskan ketersediaan likuiditas dan eksistensi likuiditas menentukan suku bunga. Tampaknya, BI menempatkan stabilisasi nilai tukar dan likuiditas dalam posisi sejajar yang bisa diraih bersamaan, alih-alih dalam konteks kausalitas.

Kekeliruan semacam ini berimbas pada efektivitas kebijakan BI. Persoalan pokoknya, apakah pelaku pasar sensitif terhadap perubahan harga atau kuantitas. Kebijakan moneter lewat suku bunga acuan niscaya cepat bereaksi seandainya pelaku pasar uang responsif terhadap suku bunga. Demikian pula kebijakan likuiditas akan efektif bilamana pelaku pasar uang peka terhadap aspek kuantitas.

Tesis terakhir agaknya mendekati kenyataan. Faktanya, perbankan tidak mengerek secara proporsional suku bunga pinjaman dan suku bunga simpanan. Intinya, derajat pass-through suku bunga acuan ke dalam suku bunga perbankan berjalan tidak sempurna.

Di lain pihak, likuiditas perbankan dirasakan semakin ketat. Rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) industri sudah menyundul batas atas yang ditetapkan BI. Artinya, daya dukung industri perbankan untuk menjalankan fungsi intermediasi keuangan sudah sangat terbatas.

Dengan memperhatikan respons pelaku pasar tersebut, BI perlu menetapkan skala prioritas. Amanat Undang-Undang Bank Sentral menegaskan bahwa tugas utama BI adalah memelihara nilai tukar rupiah yang diukur dari harga barang/jasa dalam negeri (inflasi) dan nilai tukar rupiah yang diukur dari mata uang asing (kurs).

Perlu dicatat pula, aspek pertumbuhan bukan tugas primer BI. Selain itu, kondisi perekonomian internasional sedang tidak memungkinkan untuk tumbuh lebih kencang. IMF pun sudah merevisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi global. Artinya, ada ruang toleransi bagi BI untuk lebih fokus ke area stabilisasi.

Upaya stabilisasi dari aspek likuiditas menjadi titik awal yang strategis. Likuiditas yang disalurkan perbankan adalah "darah" perekonomian. Jangan sampai suku bunga sudah mahal tapi ketersediaan dana tidak ada. Alhasil, kebijakan makroprudensial menjadi komplemen, alih-alih suplemen, bagi kebijakan moneter.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

13 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


15 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

21 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

25 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

40 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

41 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.