Dua calon presiden yang kini tengah berkompetisi, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, harus ikut bertanggung jawab mengerem penyebaran hoaks dan disinformasi selama masa kampanye pemilihan umum dan pemilihan presiden ini. Mereka berdua harus tegas melarang semua pendukungnya menyebarkan berita bohong dan manipulatif demi kepentingan elektoral. Kubu Jokowi dan Prabowo harus berani menjatuhkan sanksi keras jika ada barisan mereka sendiri yang tertangkap tangan bermain-main dengan hoaks.
Ketegasan semacam itu penting dan ditunggu publik karena selama ini para pendukung inilah yang paling rajin meneruskan pesan media sosial yang akurasinya meragukan ke ratusan atau ribuan orang di jejaringnya. Perilaku semacam itu sama saja dengan menyebarkan hoaks.
Sebagai gambaran, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) menemukan bahwa sepanjang Januari-Maret 2019 ada sedikitnya 47 kabar bohong soal Jokowi dan 17 berita yang menyerang Prabowo. Jokowi dipersoalkan ihwal kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia sampai isu seputar konsultan asing. Sedangkan Prabowo diserang soal keislaman dan kehadirannya di gereja pada misa Natal. Keduanya sama-sama menjadi korban.
Lembaga pemantau percakapan di media sosial, PoliticaWave, menemukan bahwa hoaks biasanya berawal dari grup percakapan di media sosial, seperti WhatsApp dan Facebook. Pencipta hoaks lalu sengaja membagikan informasi manipulatif itu ke platform media sosial milik kelompok relawan, terutama Twitter, agar daya ledaknya lebih besar dan menjadi viral.
Temuan PoliticaWave itu menegaskan pentingnya para pemimpin tim kampanye, penanggung jawab media sosial, bahkan hingga kandidat presiden sendiri, mengendalikan anak buahnya. Membiarkan masing-masing pendukung calon presiden saling serang dengan peluru informasi setengah keliru hanya akan memanaskan situasi politik. Apalagi jika ada kubu yang justru aktif memproduksi hoaks dan disinformasi untuk menyerang lawan. Pelanggaran semacam ini harus cepat ditangani polisi.
Buat kedua kubu, hoaks jelas tidak ada manfaatnya. Sebuah riset membuktikan bahwa hoaks tidak mempengaruhi elektabilitas calon presiden dan wakil presiden. Mayoritas para pemilih mengambang (swing voters) juga tidak mudah termakan hoaks. Mereka lebih rasional dan gencar menuntut akses untuk melihat gagasan dan rekam jejak calon.
Keberadaan hoaks justru menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas seluruh proses pemilu. Disinformasi yang beredar dan konflik yang timbul sebagai akibatnya sering membuat pemilih kehilangan motivasi untuk berpartisipasi.
Rencana Badan Pengawas Pemilihan Umum memantau hoaks apa saja yang muncul setiap pekan dan menyerahkan penyebar hoaks ke kepolisian adalah langkah tepat dan perlu didukung. Gerak cepat semacam itu dapat mencegah upaya mendelegitimasi pemilu, apalagi jika dilakukan bersama Komisi Pemilihan Umum serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Selain itu, upaya mendidik publik agar bisa membedakan konten hoaks dan bukan, serta memahami bagaimana asal-muasal disinformasi, harus terus dilakukan. Pasalnya, strategi paling efektif untuk menangkal penyebaran hoaks adalah menguatkan peradaban informasi dengan literasi digital.