Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Si Kecuali

image-profil

Oleh

image-gnews
Iklan

Di prosenium kecil, lima anak perempuan menyanyi dalam paduan suara; kemudian salah seorang maju:
Calabrisella mia,
Calabrisella mia,
Calabrisella mia,
Facimmu ammore

Nyanyian itu, melodinya, tak pernah hilang dari ingatan saya, meskipun saya tak ingat lagi di mana persisnya saya hadir di gedung pertunjukan bersahaja di Reggio di Calabria malam itu.

Itu musim semi 1966. Saya di kota tua itu, bersama sejumlah mahasiswa lain, ikut dalam sebuah "studi banding": kami berlima belas datang dari sebuah perguruan tinggi di Belgia, dengan mahasiswa dari pelbagai negeri Eropa Baratyang perlu menelaah daerah pertanian yang miskin, yang bagi mereka "lain".

Tentu saja saya perkecualian dalam grup itu. Saya kira saya yang paling tak merasa asing di pelosok Italia Selatan itu. Daerah Calabriasetidaknya di masa itu mengingatkan saya akan Indonesia: batang-batang pisang, meskipun tumbuh sporadis, pohon dan buah srikaya (yang mereka sebut cherimoya), rumpun sitrus dan pokok zaitun yang selalu hijau, tanah cokelat tortila yang telanjangdan kemiskinan yang terhampar.

Tapi betapa jauh Indonesia. Di daerah yang tertinggal di seberang Sisilia itu orang tak pernah mengenal manusia yang berbeda. Dan saya berbeda, saya ganjil. Selama beberapa hari itu mereka tak henti-hentinya mengerubungi saya, seperti orang kota mengerumuni seekor tapir yang masuk mal, memegangi tangan dan mengelus kulit saya yang cokelat, bertanya dari mana saya datang (dan tetap tak tahu apa negeri itu), adakah negeri itu punya laut, mobil, gitar, dan anak-anak menyanyi….

Baca Juga:

Mereka agak malu-malu tapi hangat: mereka tak mencemooh; mereka tertarik, karena di dunia mereka, saya "si kecuali".

Saya teringat James Baldwin dalam Notes on Native Son. Ia juga "si kecuali", ketika iaseorang penulis kulit hitam dari Amerikatinggal di sebuah dusun Swiss.

Dusun itu sebenarnya tak terlalu terpencil, hanya empat jam dari Milano, tapi terletak di ketinggian. Tak banyak orang berkunjung. Penghuninya cuma 500 orang. Tak ada bank, tak ada bioskop. Hidup berhenti pada pukul 9 atau 10 malam. Semua warga Katolik. Gereja mereka terbuka sepanjang tahun, sementara sebuah gereja Protestan hanya berfungsi di hari Minggu. Ke lingkungan yang dilingkungi salju itulah ("the white wilderness") Baldwin datang dan tinggal untuk menulis. Di sana ia bisa memusatkan pikiran, dan biaya hidup sangat murah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi di sana pula ia merasakan bagaimana sebuah identitas terbentuk, dengan agak traumatis. Ia "hitam" dari New York, di tengah orang-orang yang tak pernah tahu bahwa "hitam" tak harus berarti "Afrika", orang-orang yang takjub bahwa warna kulit tamu itu tak hilang bila digosok. "Neger! Neger!" teriak anak-anak menyapanya ramah bila ia lewat. Ada yang menyangka rambutnya warna ter dengan tekstur katun, yang kalau dibiarkan memanjang akan bisa jadi mantel.

Orang-orang dusun itu tak bermaksud jahat; mereka menerima tamu yang ganjil itu tanpa kebencian dan curiga. Tapi tetap, Baldwin adalah Si Kecuali. Ia bukan sebuah nama, sebuah riwayat yang kompleks, yang berliku tahun demi tahun, sebagaimana tiap manusia di desa itu. Baldwin semata-mata keanehan yang hidup. "I was simply a living wonder."

Mungkin itu sebabnya di dusun itu orang kenal namanya, tapi mereka hampir tak pernah menyebutnya. Identitasnya dan mungkin setiap identitaslahir dari kegagapan sebuah pertemuan yang tak lazim. Apa-dan-siapa dia diputuskan dalam kegagapan itu. Seperti saya menengok ke diri saya sendiri di hadapan orang-orang di Reggio di Calabria, di hadapan orang-orang di dusun Swiss itu Baldwin melihat ke warna kulitnya sendiri yang hitam, tekstur rambutnya yang seperti katun, riwayat yang ikut membentuk hidupnya yang muram (Kota New York, diskriminasi rasial dan sejarah perbudakan Amerika, dan entah apa lagi). Mungkin demikian pula sebaliknya: orang-orang Swiss udik yang sebelumnya tak pernah bersua dengan manusia yang berbeda akan mencari-cari di mana beda itu dalam diri mereka.

Tapi kegagapan selalu sementara. Saya tak lama berada di Reggio di Calabria, dan tak bisa bercerita bagaimana kemudian orang-orang setempat memandang saya seandainya saya tinggal dua tahun. Tapi dalam hal Baldwin, ia menyaksikan perubahan sikap. Orang-orang dusun Swiss itu mulai kurang berminat tentang tekstur rambut. Mereka mulai bertanya-tanya tentang diri Baldwin seraya mengundang minum kopi. Ia tak lagi sepenuhnya "Si Kecuali".

Di sini, Baldwin lebih santai. Ia tak harus merumuskan apa-dan-siapa dirinya. Ia tak hendak bersitegang dalam soal identitas. "Identitas sebaiknya dipakai seakan-akan busana yang menutupi ketelanjangan diri," katanya. Busana (identitas) itu sebaiknya dikenakan dengan "longgar, agak seperti jubah di padang pasir, di mana ketelanjangan masih bisa kentaradan memungkinkan kita berganti jubah".

Di zaman politik identitas yang mengharu biru dunia, saya makin menyukai kata-kata Baldwin itu.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

16 jam lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

29 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.