Neni Nur Hayati
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership
Pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara pada 17 April 2019 sudah semakin dekat. Hal yang paling krusial menjelang hari-H adalah persoalan logistik pemilihan umum (pemilu). Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat kabupaten/kota telah menerima distribusi perlengkapan pemungutan suara dan dukungan perlengkapan lainnya. Berdasarkan Pasal 3 Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2018, pengadaan perlengkapan penyelenggaraan pemilu dilaksanakan berdasarkan prinsip tepat jumlah, tepat jenis, tepat sasaran, tepat waktu, tepat kualitas, dan efisien.
Adapun jenis perlengkapan pemungutan suara yang dimaksudkan meliputi kotak suara, surat suara, tinta, bilik pemungutan suara, segel, alat untuk mencoblos pilihan, dan tempat pemungutan suara (TPS). Adapun dukungan perlengkapan lainnya meliputi sampul kertas, tanda pengenal, karet pengikat suara, lem/perekat, ballpoint, gembok, spidol, formulir, tali pengikat, alat bantu tunanetra, daftar pasangan calon dan daftar calon tetap, serta salinan daftar pemilih tetap.
Namun di lapangan ternyata perlengkapan pemungutan suara dan dukungan perlengkapan lain masih kurang dan rusak. Di Jawa Barat, misalnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum mencatat total jumlah kekurangan dan kerusakan di 27 kabupaten/kota adalah 9.371 kotak suara, 58.249 bilik suara, 883 tinta, dan 152.133 segel. Ini belum termasuk perlengkapan dukungan lainnya. Itu adalah potret bahwa di provinsi lain juga tidak tertutup kemungkinan terjadi hal yang sama.
Wajarlah bila muncul desakan dari sejumlah pihak untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang mengenai ketersediaan logistik. Menurut aturan pendistribusian distribusi surat suara yang pengadaannya oleh KPU, basis penambahan 2 persen surat suara adalah kebutuhan per daerah pemilihan, bukan per tempat pemungutan suara. Padahal jelas, menurut Pasal 350 ayat 3 Undang-Undang Pemilu, jumlah surat suara di setiap TPS sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan ditambah dengan 2 persen dari daftar pemilih tetap sebagai cadangan.
Hal ini sangat mengkhawatirkan kita bersama, terlebih untuk pemilih pindahan dan daftar pemilih khusus (DPK) yang jumlahnya cukup membludak, sehingga di beberapa kabupaten/kota tak sedikit yang menambah jumlah TPS. Bayangkan saja, ketika pemilih di satu TPS sudah penuh untuk 300 orang, penambahan suara 2 persen itu hanya enam surat suara. Penambahan tersebut juga dipakai untuk mengganti surat suara yang rusak. Kondisi ini dapat mengakibatkan tingginya potensi kekurangan surat suara. Jangan sampai pemilih yang masuk DPK dan daftar pemilih tambahan kehilangan hak pilihnya hanya karena surat suaranya tidak ada.
Masalah selanjutnya adalah mengenai gudang penyimpanan logistik, khususnya di Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) dan TPS. Sejauh ini, di tingkat PPK belum ada tempat penyimpanan logistik yang representatif. Ini bisa menyebabkan rusaknya logistik. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa proses distribusi logistik dari KPU kabupaten/kota ke PPK bisa dalam kondisi utuh, apalagi dengan cuaca yang tidak bisa diprediksi.
Atas beberapa masalah tersebut, tentunya penyelenggara pemilu harus memiliki solusi untuk menghadapi berbagai potensi masalah itu. Kita mengapresiasi upaya KPU untuk membantu hak pilih warga negara tetap terjaga, tapi segala hal harus segera diantisipasi agar pelaksanaan pemilihan dapat berjalan sukses tanpa ekses.
Pertama, KPU kabupaten/kota perlu kembali mengajukan penambahan surat suara yang belum terpenuhi per TPS kepada KPU dan memasukkan pemilih yang masuk DPK untuk ditetapkan menjadi DPT. Dalam hal ini, Bawaslu dapat memberikan rekomendasi untuk menetapkan DPK menjadi DPT.
Menunggu keluarnya peraturan pemerintah akan membutuhkan waktu yang tidak mungkin bisa cepat. Padahal kekurangan dan kerusakan logistik ini harus segera diselesaikan sebelum logistik didistribusikan ke PPK dan TPS.
Selain itu, ketersediaan akses untuk penyandang disabilitas harus tetap diperhatikan, seperti pengadaan alat bantu tunanetra. Bagaimanapun, mereka memiliki hak yang sama untuk dapat memilih calon legislator di daerahnya.
Kedua, KPU segera berkoordinasi dengan pemerintah untuk menyiapkan gudang penyimpanan logistik. Dengan bertambahnya jumlah TPS dua kali lipat dari pemilihan sebelumnya, tentu dibutuhkan gudang penyimpanan logistik yang lebih luas dan banyak. Anggaran gudang penyimpanan di PPK itu tidak ada, jadi pemerintah harus membantu memberikan gudang penyimpanan yang representatif.
Ketiga, pengawas pemilu di semua tingkatan harus memastikan bahwa ketersediaan logistik dapat terpenuhi. Catat apa yang menjadi temuannya dan segera merekomendasikan apabila ada hal yang tidak sesuai dengan aturan. Pastikan juga bahwa pelaksana pemilu melaksanakannya sesuai dengan standard operating procedure yang telah ditetapkan di setiap sub-tahapan logistik.
Keempat, keterlibatan aktif masyarakat untuk ikut memantau proses distribusi logistik. Laporkan apabila menemukan kerusakan dan dugaan pelanggaran pada logistik pemilu ke pengawas pemilu setempat. Tahapan logistik menjadi salah satu kunci terwujudnya pemilu yang demokratis.