Pencapaian tim nasional Indonesia U-22 menjuarai turnamen piala ASEAN Football Federation 2019 di Phnom Penh, Kamboja, patut diapresiasi di tengah paceklik prestasi dalam kompetisi internasional. Namun kemenangan pasukan Garuda Muda ini tak perlu dirayakan berlebihan karena masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi.
Dalam pertandingan final Selasa malam lalu, tim nasional usia di bawah 22 tahun besutan Indra Sjafri menang 2-1 atas tim Thailand. Cukup mengejutkan karena sebelumnya tim nasional ketinggalan oleh tim lawan. Di atas kertas, tim Thailand lebih diunggulkan karena langganan juara di pelbagai kompetisi sepak bola Asia Tenggara. Bahkan, pada awal kompetisi, penampilan tim nasional jauh dari mengesankan.
Prestasi ini semestinya menjadi tonggak pembenahan sepak bola nasional. Munculnya atlet yang berusia belia ini menunjukkan tanda kebangkitan sepak bola nasional sudah di depan mata. Mereka bisa menjadi tumpuan untuk meraih prestasi lebih tinggi pada masa depan dengan sistem pembinaan yang profesional.
Perolehan gemilang dalam Piala AFF U-22 tersebut bisa dijadikan momentum untuk membenahi pembinaan atlet sepak bola. Tak boleh puas hanya berprestasi di tingkat Asia Tenggara, kita perlu menunjukkan prestasi hebat dalam perhelatan sepak bola skala dunia. Saat ini, peringkat tim nasional kita berada di urutan ke-165 FIFA, jauh tertinggal dari Vietnam, yang beberapa tahun sebelumnya menjadi tim underdog di ASEAN.
Indonesia perlu menyiapkan secara serius tim nasional yang akan berlaga dalam kompetisi regional dan dunia. Pembinaan jangka panjang harus dilakukan dengan benar. Bibit pemain nasional harus disiapkan dan dilatih sedini mungkin atau sejak usia sekolah dasar. Model latihan dan kompetisi dalam negeri harus profesional dan dibuat berjenjang sesuai dengan kelompok umur. Fasilitas memadai hingga pelatih yang memantau para pemain muda juga sangat diperlukan untuk mendukung pembinaan yang maksimal.
Pembinaan sejak dini diperlukan karena prestasi sepak bola tak bisa diraih instan. Berbagai penelitian ilmiah menyimpulkan butuh waktu 8-10 tahun bagi seorang atlet untuk menghasilkan prestasi tinggi. Waktu rata-rata latihan atlet berprestasi umumnya sekitar 10 ribu jam atau rata-rata latihan tiga jam sehari selama sepuluh tahun.
Indonesia bisa belajar dari pengalaman Jepang dalam membangun sepak bola. Guna mengejar target menjadi juara dunia 2050, Jepang melakukan sejumlah hal. Antara lain menyelenggarakan kompetisi yang profesional, mendidik ribuan pelatih, membangun puluhan akademi sepak bola yang berafiliasi dengan kompetisi lokal, dan memproduksi para pemain yang memiliki kemampuan serta disiplin tinggi sehingga bisa bermain di liga-liga top dunia.
Perombakan radikal di tubuh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tak boleh dilupakan. Tanpa ini, mimpi meningkatkan prestasi sepak bola kita ke pentas dunia mustahil tercapai. Merancang roadmap sepak bola nasional menuju pentas dunia membutuhkan pengurus PSSI yang excellent, berkomitmen tinggi, dan bersih dari praktik korupsi. Sejumlah figur di PSSI yang namanya kini terseret kasus pengaturan pertandingan dan suap mafia bola di kepolisian tak pantas lagi mengurusi sepak bola negeri ini.