Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
Seharusnya Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman (MBS), penguasa de facto Arab Saudi, bersama rombongan besarnya tiba di Jakarta pada 19 Februari guna membahas berbagai kerja sama, khususnya ekonomi dan politik. Ini sebagai tindak lanjut dari hal-hal yang telah dicapai dalam pembicaraan dengan Raja Salman bin Abdulaziz yang mengunjungi Indonesia pada awal 2017.
Awalnya Pangeran Salman akan datang bersama seribu anggota delegasi, termasuk kelompok bisnis, dan mengadakan pembicaraan empat mata dengan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, selain pertemuan bilateral delegasi Arab Saudi dan pemerintah Indonesia. Rencana kunjungan itu ditunda hingga waktu yang akan dijadwalkan kembali. Malaysia pun menangguhkan kedatangan Sang Pangeran. Dengan demikian, Salman hanya akan mengunjungi Pakistan, India, dan Cina. Mengapa kunjungan Salman ke Indonesia ditangguhkan?
Paling tidak ada dua alasan utama. Pertama, kunjungan ini dilakukan saat Pangeran Salman sedang disorot komunitas internasional terkait dengan pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, 2 Oktober lalu. Khashoggi adalah pengritik Salman melalui tulisan-tulisannya di The Washington Post sejak menetap di Amerika Serikat pada September 2017. Setelah berganti-ganti dalih, Riyadh akhirnya mengakui Khashoggi dibunuh regu khusus yang dikirim dari Saudi. Kendati Saudi telah menahan dan mengadili 18 orang yang dianggap terlibat dalam pembunuhanlima orang di antaranya diancam hukuman matikomunitas internasional menganggap penanganan kasus ini oleh Saudi kurang dapat dipercaya. Turki, Kongres Amerika, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa yakin perintah pembunuhan itu datang dari pucuk pimpinan Saudi. Badan Penyelidik Pusat Amerika (CIA) bahkan terang-terangan menyatakan Pangeran Salman terlibat dalam kasus ini.
Berita pembunuhan Khashoggi juga menggemparkan masyarakat Indonesia. Tentu banyak yang kecewa terhadap Pangeran Salman, yang sebelumnya telah mengambil kebijakan yang menyulitkan negara Arab lainnya, seperti perang di Yaman dan blokade atas Qatar. Tak mengherankan jika, dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir di Jakarta pada 22 Oktober 2018, Presiden Jokowi mendesak Al-Jubeir menangani kasus Khashoggi secara transparan dan saksama. Sayangnya, berlawanan dengan harapan Saudi, hingga sekarang kasus ini tidak juga surut akibat Riyadh, dalam proses pengadilannya, tidak transparan dan masih tetap bungkam tentang keberadaan jenazah Khashoggi.
Kedua, rencana kedatangan Pangeran Salman dan rombongan besarnya akan menimbulkan kehebohan. Rombongannya akan memesan semua kamar di dua hotel berbintang. Mereka juga membawa barang-barang pribadi Pangeran Salman, termasuk kendaraan mewah dan peralatan olahraganya sendiri. Ini terjadi menjelang pemilihan presiden pada 17 April.
Mengingat hal-hal tersebut, menjamu Pangeran Salman secara istimewa di tengah sorotan negatif komunitas internal dan eksternal akan sangat merugikan petahana. Agenda politik yang dibawa Salman, seperti ajakan melawan Iran, juga tidak disukai pemerintah Indonesia, yang membangun hubungan sangat baik dengan Iran. Alasan penangguhan pemerintah Malaysia terhadap kunjungan Salman sampai kasus Khashoggi benar-benar tuntas tampaknya sama dengan alasan Indonesia.
Pakistan menyambut hangat Salman berdasarkan sejumlah pertimbangan. Pakistan merupakan sekutu strategis Arab Saudi. Hubungan spesial mereka terbangun sejak 1977 ketika Pakistan diperintah oleh Presiden Zia-ul-Haq. Kedatangan Salman juga bertepatan dengan krisis politik Pakistan-India menyusul bom bunuh diri di Kashmir, wilayah sengketa India-Pakistan, yang menewaskan 41 personel paramiliter India dan New Delhi menuduh Islamabad berada di balik insiden itu.
Sambutan meriah Pakistan terhadap Salman juga terkait dengan masalah ekonominya. Sejak tahun lalu, cadangan devisa Pakistan terus menyusut, ekspor anjlok, dan inflasi melejit. Pada 14 Februari, Bank Sentral Pakistan menyatakan devisanya tinggal US$ 8,2 miliar, yang hanya mampu untuk impor selama dua bulan. Pakistan telah mengajukan pinjaman kepada Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Cina untuk menutupi kekurangannya. Saat kedatangan Salman, rencananya dikucurkan dana paling tidak sekitar US$ 10 miliar untuk pembangunan kilang minyak di Gwadar, Pakistan. Meskipun semua ini belum banyak membantu ekonomi Pakistan, paling tidak pemerintahan Perdana Menteri Imran Khan, yang banyak menjanjikan perbaikan ekonomi bagi rakyat Pakistan selama kampanye pemilihan umum tahun lalu, untuk sementara dapat sedikit bernapas.
Misi Pangeran Salman sendiri dalam turnya ke Asia ini di antaranya keinginan Saudi mendiversifikasi sumber ekonominya dengan tidak lagi bergantung pada ekspor minyak dan berinvestasi di luar negeri. Secara politik, kunjungan Salman dimaksudkan untuk mengeluarkan Saudi dari isolasi internasional sejak kasus Khashoggi. Dalam konteks misi ini, tentu saja posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dan pangsa pasar yang besar menjadikannya penting bagi Riyadh. Sayang, untuk sementara, Indonesia terlalu jauh untuk bisa dijangkau Saudi.