Banyaknya calon anggota legislatif yang tak mau membuka data dirinya patut disayangkan. Ini masalah serius yang harus ditangani demi memperbaiki kualitas pemilihan umum. Jangan sampai pemilih mencoblos calon yang rekam jejaknya tidak jelas seperti membeli kucing dalam karung.
Sesuai dengan data Komisi Pemilihan Umum, sebanyak 2.049 dari 8.037 calon legislator menolak membuka data pribadinya ke publik. Bila diurutkan berdasarkan partai politik, calon yang paling banyak menolak membuka data pribadinya berasal dari Partai Demokrat, Hanura, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Garuda, serta Partai NasDem. Calon dari Demokrat dan Hanura yang menutupi datanya bahkan mencapai 99 persen.
Adapun lima partai yang calonnya cukup terbuka adalah Partai Golkar, Partai Berkarya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Perindo. Persentase calon legislator yang menyembunyikan datanya pada partai-partai itu di bawah 6 persen.
Data pribadi yang para calon legislator tidak mau mengungkapnya misalnya tempat dan tanggal lahir, status pernikahan, nomor induk kependudukan, riwayat pendidikan, pekerjaan, organisasi, penghargaan, kursus yang pernah diikuti, serta motivasi pencalonan dan target yang hendak dicapai jika terpilih. Data itu sudah mereka sertakan saat mengisi formulir bakal calon.
Dalam formulir tersebut, para calon legislator diberi pilihan untuk mempublikasikan data diri atau tidak. KPU menyatakan tak bisa membuka data calon yang menolak mempublikasikan data dirinya. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, yang menyebutkan data yang bersifat pribadi tak bisa disebarluaskan karena menyangkut hak konstitusional seseorang sebagai warga negara.
Kebijakan menyediakan opsi membuka atau tidak membuka data pribadi itulah yang kurang tepat. KPU semestinya langsung menyediakan format biodata yang memungkinkan publik bisa mengakses sebagian informasi dari data administrasi pencalonan. Data yang rinci, amat pribadi, dan dokumen-dokumen yang merupakan bagian dari persyaratan pencalonan bisa saja disembunyikan.
KPU semestinya membuat terobosan tanpa harus melanggar UU Keterbukaan Informasi, UU Administrasi Kependudukan, dan privasi. Komisi bisa mewajibkan calon membuka biodata secara lengkap, seperti usia, pendidikan, pengalaman, dan sebagainya. Adapun data seperti tanggal lahir dan nomor induk kependudukan tidak wajib dicantumkan karena memang bisa disalahgunakan.
Untuk menutupi kelemahan mekanisme yang dibikin KPU, partai politik seharusnya ikut mendorong para calon membuka rekam jejaknya, yang berguna bagi pemilih selama masa kampanye. Sikap menutup diri para calon legislator justru akan merugikan diri sendiri dan partainya. Sikap terlalu tertutup akan mengundang kecurigaan bahwa mereka memiliki rekam jejak yang buruk.
Publik pun perlu berhati-hati dalam memilih calon anggota legislatif dalam pemilu mendatang. Jangan memilih hanya berdasarkan partai pengusung. Cermati pula biodata dan reputasinya.