Sipon mengenakan T-shirt dengan wajah Joko Widodo, presiden yang dipilihnya. Dia tersenyum gembira menatap layar televisi di rumahnya yang sederhana di Jagalan, Solo ketika televisi menayangkan secara langsung pelantikan presiden. “Bapak Jokowi sungguh tulus, ketika Wani menikah, beliau bersedia datang ke rumah ini,” kata Sipon, isteri penyair dan aktivis Wiji Thukul, menyebut nama puteri sulungnya.
Ini adalah satu adegan di dalam film dokumenter karya Yuda Kurniawan berjudul Nyanyian Akar Rumput yang baru saja diganjar Festival Film Indonesia 2018 sebagai Film Dokumenter Terbaik.
Tentu saja film ini sebetulnya bukan menyorot Siti Dyah Sujirah yang lebih akrab dikenal sebagai Sipon. Film berdurasi 107 menit ini menyorot Fajar Merah, putera bungsu Wiji Thukul ,yang kini dikenal oleh generasi milenial sebagai vokalis dan pencipta lagu dalam band Merah Bercerita. Dari berbagai narasumber, kita berkenalan dengan sosok Fajar Merah yang hanya sempat merasakan memiliki ayah hingga berusia dua tahun.
Sutradara Yuda Kurniawan tak merasa perlu berpanjang-panjang memperkenalkan sosok Wiji Thukul, karena nama ini sudah berkibar dan puisinya sudah menjadi mantra bagi para aktivis. Yuda justru tertarik mengikuti gerak dan langkah Fajar sejak awal karena “saya selalu mengikuti aktivitas band dan konser Merah Bercerita,” kata Yuda.
Tetapi mengikuti kelompok Merah Bercerita yang membuat musikalisasi puisi-puisi ayahnya (antara lain “Bunga dan Tembok” , “Apa Guna”) dan juga lagu dan lirik yang diciptakan Fajar Merah sendiri artinya Yudha juga harus menggali kelahiran Fajar sebagai seniman. Dua narasumber penting yang berkisah tentang masa balita Fajar hingga dia mulai remaja adalah Sipon dan kakak sulung Fitri Nganthi Wani. Informasi dari Wani inilah yang menjelaskan betapa besarnya dampak hilangnya Wiji Thukul terhadap keluarganya, dan juga pada Indonesia.
Wani berkisah bagaimana di masa kecil hingga remaja “Fajar tidak suka dikait-kaitkan dengan nama Bapak.” Menurut Wani, karena masih kecil, Fajar gusar dengan absennya bapaknya sehingga hal ini ikut membuat ibu mereka semakin tertekan. Bahkan ada satu periode ketika Fajar berangkat remaja, Wani dan Sipon menemui Fajar melukai diri karena frustrasi. Adalah Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, yang juga dikenal sebagai aktivis, yang menjadi “semacam substitusi untuk absensi sang bapak.” Hanya setelah Fajar mulai remaja dan mencoba memahami puisi ayahnya, dia mulai mencari tahu lebih dalam jiwa bapaknya.
“Barulah Fajar mulai mencoba memberi musik pada puisi Bapak….” Kata Wani yang mengaku dia bangga adiknya kini sudah dikenal sebagai seniman.
Kamera Yuda bukan hanya mengikuti Fajar sebagai vokalis band Merah Bercerita yang ditanggap di mana-mana, dari kampus yang berisi generasi milenial yang tak mengalami peristiwa 1998 hingga berbagai pusat kesenian. Sesekali, kita dibawa ke masa lalu sejenak untuk memahami apa yang sudah membentuk seorang Fajar Merah. Yuda menggunakan beberapa footage film dokumenter arahan Tino Saroenggalo “The Army Forced them to be Violent: Student Movement in Indonesia” untuk memberi konteks sejarah. Yang tentu saja mengharukan adalah salah satu footage dari Lexy Rambadetta yang menampilkan saat keluarga Wiji Thukul yang mewakili sang penyair mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 2002, karena saat-saat itulah adalah bagian tersulit bagi Sipon, Wani, Fajar dan juga orang-tua dan adik Thukul yang menghadapi kehilangan anggota keluarga yang masih belum dituntaskan pemerintah.
Tetapi tentu saja ada bagian yang optimistic ketika kita melihat Fajar Merah rekaman di studio di Yogyakarta. Kita juga ikut bangga dan ingin dia sukses sebagai seniman
Bagian kritis dari dokumenter ini tentu saja adalah adegan Kamisan dan ucapan para orang-tua korban penculikan yang menekankan bahwa mereka sangat berharap bahwa pemerintah baru akan memberikan penyelesaian dari kasus penghilangan paksa para aktivis 1998. Ini menjadi terasa ironi karena pada awal film Yuda memperlihatkan bagaimana Sipon pada 2014 bukan sekedar mendukung Joko Widodo sebagai presiden 2014 tetapi juga secara suka rela membagikan kaos bergambar walikota yang dibanggakannya itu.
Film yang mendapatkan kesempatan World Premiere di Busan perdana (Word Premiere) Busan International Film Festival tahun lalu sangat perlu disaksikan generasi masa kini agar memahami betapa banyaknya persoalan hak asasi manusia yang masih perlu dibenahi; bahwa untuk menuju pada Indonesia baru ini begitu banyak yang harus melalui penyiksaan dan penghilangan paksa.
NYANYIAN AKAR RUMPUT
Sutradara: Yuda Kurniawan
Durasi: 107 menit
Produksi: Rekam Docs