Penggunaan ular oleh polisi untuk menginterogasi seorang tersangka pencuri di Papua tidak bisa dibenarkan demi alasan apa pun. Selain merendahkan martabat manusia, mendapatkan informasi lewat cara seperti itu menunjukkan polisi tidak profesional.
Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009 dengan jelas menyebutkan personel Polri dilarang merendahkan terperiksa dan menggunakan kekerasan fisik ataupun psikis demi mendapatkan pengakuan. Peraturan Kapolri yang memuat prosedur pemeriksaan sesuai dengan prinsip perlindungan hak-hak manusia ini semestinya menjadi pegangan semua anggota kepolisian.
Anggota kepolisian Kabupaten Jayawijaya yang bertindak kurang beradab itu seharusnya menyadari bahwa pengakuan tersangka hanyalah salah satu alat bukti. Polisi bisa mendapatkan alat bukti lain, seperti pengakuan saksi dan petunjuk. Memaksa tersangka mengakui perbuatannya dengan intimidasi adalah tabiat aparat masa lalu yang harus ditinggalkan. Cara ini justru bisa menyebabkan polisi keliru dalam menentukan tersangka: orang terpaksa mengaku bersalah karena tak kuat disiksa.
Model pemeriksaan polisi Jayawijaya itu menjadi sorotan publik setelah "video interogasi dengan ular" beredar luas. Pengacara hak asasi manusia, Veronica Koman, menyebutkan cara serupa terjadi pula dalam pemeriksaan anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Sam Lokon. Setelah disiksa karena dituduh mencuri sepeda motor, Sam ditahan di dalam sel berisi ular. Veronica juga menyebutkan, berdasarkan cerita dari sejumlah aktivis Papua yang ia advokasi, penggunaan ular saat interogasi jamak dilakukan polisi di Papua.
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian harus segera memutus kebiasaan buruk anak buahnya ini dalam melakukan pemeriksaan. Kerapnya penggunaan ular atau kekerasan ketika menginterogasi orang Papua bisa mengundang tuduhan bahwa penegak hukum bersikap rasial.
Jangan sampai pula muncul tuduhan bahwa polisi sedang membalas dendam terhadap kelompok pro-kemerdekaan. Setelah penembakan 17 pekerja PT Istaka Karya di Nduga oleh kelompok bersenjata pada awal Desember lalu, polisi cukup masif menggulung simpatisan KNPB, organisasi yang mempromosikan referendum Papua. Misalnya, polisi menangkap lebih dari 100 orang di seluruh Papua yang menghadiri peringatan Hari Hak Asasi Manusia Se-Dunia yang diselenggarakan KNPB.
Polisi harus tetap berpegang pada standar pemeriksaan sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 8/2009 untuk menangani semua jenis pelanggaran hukum. Aturan ini telah mengadopsi sederet instrumen perlindungan hak asasi manusia, seperti UUD 1945, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil, dan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perlindungan Tahanan. Kepala Polri seharusnya mendorong agar semua polisi benar-benar mematuhi aturan itu dalam proses penyelidikan dan penyidikan serta dalam menangani tahanan.
Anggota kepolisian Jayawijaya yang telah menabrak aturan Kapolri semestinya pula diberi sanksi berat. Tidak selayaknya penegakan hukum dilakukan dengan cara menabrak aturan dan melecehkan martabat manusia.