Fenomena golongan putih alias golput sebetulnya lumrah dalam negara demokrasi. Masyarakat akan enggan mencoblos jika politik kurang menarik atau tidak menjanjikan banyak harapan. Dalam kaitan dengan pemilihan presiden 2019, kontestasi yang hanya bertumpu pada Joko Widodo dan Prabowo Subianto dianggap sebagai biangnya.
Pertarungan di antara dua figur itu sudah terjadi pada Pemilu 2014. Masyarakat pun sudah mengetahui kekuatan dan kelemahan dua tokoh ini. Publik bahkan sudah bisa menilai kinerja Jokowi setelah memerintah selama empat tahun lebih. Adapun, sebagai calon penantang, Prabowo sejauh ini juga belum terlihat bisa menjadi tumpuan harapan baru.
Keengganan masyarakat untuk mencoblos tergambar dari hasil polling Indikator Politik pada Desember lalu: angka golput diperkirakan 20 persen dalam pemilihan presiden mendatang. Selain itu, ada suara mereka yang belum menentukan pilihan atau undecided voters dan pemilih mengambang atau swing voters, yang totalnya mencapai kisaran 25 persen. Dengan kata lain, bisa jadi target Komisi Pemilihan Umum untuk mencapai angka partisipasi 77,5 persen dari total pemilih akan sulit dicapai.
Fenomena golput itu semakin menghantui karena angkanya pun konsisten naik dari pemilu ke pemilu. Angka ini merupakan gabungan dari golput yang bersifat ideologis dan jumlah orang yang tidak memilih karena alasan lain. Yang jelas, jumlah pemilih yang tidak mencoblos pada pemilihan presiden 2004 putaran kedua sebesar 23,4 persen, lalu meningkat pada pemilihan presiden 2009 menjadi 28,3 persen. Lima tahun kemudian, pada pemilihan 2014, jumlahnya sudah menjadi 29,01 persen. Persentase itu setara dengan lebih dari 53 juta pemilih.
Pemilihan presiden menjadi tidak menarik gara-gara aturan ambang batas pencalonan presiden dalam Undang-Undang Pemilihan Umum. Ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu nasional sungguh membelenggu. Tanpa sokongan partai lain, sulit bagi partai untuk mengusung calon presiden. Akibatnya, hanya muncul dua kandidat presiden: Jokowi dan Prabowo. Pilihan rakyat menjadi amat terbatas.
Kemungkinan menguatnya golput bisa menjadi bumerang bagi kedua calon presiden, terutama yang memiliki pendukung kurang solid. Jangan heran bila kubu Jokowi pun mewaspadai kecenderungan itu. Tapi sungguh keliru jika kubu Jokowi berupaya mengkampanyekan gerakan anti-golput dengan mendompleng program aksi bela negara.
Program bela negara, yang dicanangkan lewat Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2018, semestinya tidak ditumpangi kepentingan politik. Pelaksanaan program ini yang bersamaan dengan kampanye pemilu juga mudah dicurigai sebagai ajang kampanye terselubung untuk mendukung calon inkumben. Kalaupun ingin meningkatkan partisipasi politik, lebih baik Komisi Pemilihan Umum yang bergerak.
Fenomena golput hanyalah cermin dari jumudnya demokrasi kita dan menguatnya oligarki politik. Para petinggi partai semestinya mencermati betul hal ini. Aturan ambang batas pencalonan sebaiknya dibongkar pada masa mendatang agar suasana pemilihan presiden lebih bergairah.