Presiden Joko Widodo harus menjelaskan urgensi rencana restrukturisasi yang bakal menyebabkan gemuknya organisasi Tentara Nasional Indonesia. Tanpa penjelasan yang benderang, rencana penambahan 60 jabatan struktural perwira tinggi itu akan terkesan sebagai "jualan" menjelang pemilihan presiden.
Jabatan baru untuk jenderal bintang satu dan dua tersebut tentu menjadi kabar baik bagi barisan perwira yang pangkatnya tersendat di level kolonel. Dengan tambahan jabatan, mereka berpeluang melewati "batas psikologis" dalam karier ketentaraan itu. Tapi penambahan jabatan struktural tidak boleh hanya untuk membuat senang barisan perwira yang "macet" itu.
Penumpukan perwira pada level tertentu terjadi lantaran kenaikan pangkat di TNI tak selalu didasari asas meritokrasi. Ada perwira yang naik pangkat dalam waktu cepat, jauh meninggalkan teman seangkatan dan menyalip seniornya. Mereka mendapat promosi bukan semata karena prestasi, tapi ada juga yang lantaran kedekatan dengan pusat kekuasaan.
Kenaikan pangkat tak wajar bisa memicu riak di kalangan perwira. Tapi memberikan jabatan baru kepada perwira yang kecewa bukan cara yang bijak. Seharusnya yang dibenahi adalah manajemen sumber daya manusia dan penjenjangan karier tentara. Penambahan jabatan struktural harus benar-benar dilakukan berdasarkan kebutuhan organisasi TNI.
Syak wasangka tak terelakkan lantaran pemerintah dan TNI belum menjelaskan dengan gamblang alasan penambahan jabatan struktural tersebut. Padahal konsekuensinya sangat jelas. Di samping bisa membuat rentang komando dan koordinasi di TNI lebih rumit, bertambahnya jabatan berimplikasi pada pembengkakan anggaran. Hal itu bertentangan dengan upaya perampingan dan efisiensi organisasi TNI.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto memang menjelaskan bahwa restrukturisasi merupakan pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2016. Berdasarkan aturan itu, misalnya, 21 Komando Resor Militer tipe B naik tingkat menjadi tipe A. Akibatnya, pangkat Komandan Resor Militer pun harus dinaikkan menjadi brigadir jenderal. Pertanyaannya, mengapa peraturan yang terbit pada 14 Juli 2016 itu baru dilaksanakan hari ini?
Dalam politik, momentum selalu menjadi faktor penting. Karena itu, di samping jabatan baru tentara, rencana pemerintah menambah usia pensiun tamtama dan bintara dari 53 menjadi 58 tahun pun menjadi gunjingan. Alasan Jokowi bahwa pada usia 53 tahun prajurit TNI masih produktif terdengar masuk akal. Apalagi Presiden membandingkannya dengan usia pensiun anggota kepolisian yang juga 58 tahun. Tapi, karena rencana itu terlontar menjelang pemilu, ada saja yang bertanya soal "udang di balik batu".
Jokowi, yang berlatar belakang sipil, tentu membutuhkan dukungan militer untuk bertarung dengan Prabowo Subianto yang mantan letnan jenderal. Karena itu pula, rencana penambahan jabatan struktural dan usia pensiun tentara rawan dituding sebagai jurus kampanye calon inkumben. Tudingan itu bukan tanpa dasar. Meski anggota TNI tak ikut memilih, keluarga mereka bisa terpengaruh oleh iming-iming tersebut.
Agar situasi politik tak menjadi lebih runyam, sembari menunggu hasil kajian yang lebih saksama, rencana penambahan jabatan struktural dan usia pensiun tentara itu sebaiknya ditunda.