Akhirnya Dhani Ahmad Prasetyo alias Ahmad Dhani divonis 1,5 tahun penjara dalam kasus ujaran kebencian. Putusan ini memperlihatkan dua sekaligus kelemahan dunia hukum: banyaknya pasal karet dan pengadilan yang tidak benar-benar merdeka. Kelemahan ini mengancam kebebasan berpendapat dan merusak demokrasi.
Ahmad Dhani diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan gara-gara cuitannya di Twitter menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Saat itu calon inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tengah dihantam isu penistaan agama. Dhani pun menulis di akunnya, antara lain: "Siapa saja yg dukung Penista Agama adalah Bajingan…". Cuitan itulah yang menyebabkan ia masuk penjara. Vonis Dhani diketok hampir bersamaan dengan bebasnya Ahok dari hukuman kasus penistaan agama.
Perkara Ahok tidak layak dibawa ke pengadilan. Kasus ini terkesan dipengaruhi oleh tekanan sebagian kalangan Islam di tengah panasnya pertarungan politik dalam pilkada DKI. Begitu pula perkara Ahmad Dhani. Mencuatnya kasus ini tampak seperti upaya balas dendam dari kubu yang selama ini mendukung Ahok. Kelemahan sistem hukum dan peradilan kita memungkinkan munculnya kasus-kasus yang aneh.
Dalam kasus Dhani, lemahnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memberikan andil besar. Musikus dan politikus Partai Gerindra ini dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE: menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Pelakunya diancam hukuman hingga 6 tahun penjara.
Aturan mengenai ujaran kebencian itu amat lentur, multitafsir, dan bisa disalahgunakan oleh siapa pun. Cuitan Dhani tersebut jelas kasar dan tidak sopan, tapi lebih tepat disebut sebagai "pendapat", bukan masuk kategori "informasi" seperti yang diatur dalam Undang-Undang ITE.
Pasal ujaran kebencian sama lemahnya dengan delik pencemaran nama atau penghinaan yang diatur dalam Pasal 27 undang-undang yang sama. Lembaga Southeast Asia Freedom of Expression Network mencatat, hingga Oktober 2018, 381 orang telah menjadi korban dua pasal itu.
Fenomena itu jelas mengancam kebebasan berpendapat. Publik menjadi takut berpendapat, apalagi mengkritik penguasa, kelompok tertentu, atau perorangan. Kritik bisa ditafsirkan sebagai pencemaran nama dan ujaran kebencian. Hal ini merupakan celah bagi munculnya tindakan sewenang-wenang oleh orang atau kelompok yang punya kuasa.
Lemahnya aturan hukum sebetulnya tidak otomatis memproduksi ketidakadilan jika hakimnya cukup bijak. Aturan yang amburadul bisa ditutupi oleh penegak hukum yang baik. Masalahnya, dunia peradilan kita pun terkesan mudah dipengaruhi, bahkan diintervensi, sehingga muncul kasus Ahok dan Dhani yang sama-sama ganjil.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya segera merevisi pasal-pasal yang antidemokrasi dalam Undang-Undang ITE. Langkah ini merupakan solusi yang masuk akal setelah berbagai upaya masyarakat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi tidak membuahkan hasil.