Ribut-ribut mengenai urun biaya hanyalah puncak gunung es dari masalah yang dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kebijakan tambal-sulam ini bukan obat mujarab untuk mengatasi defisit keuangan penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut.
Aturan perihal urun biaya di luar premi yang diberlakukan mulai akhir tahun lalu itu akan diterapkan pada jenis pelayanan kesehatan yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan. Tujuannya untuk mengurangi moral hazard, terutama oleh peserta mandiri, misalnya menambah layanan yang tidak disarankan. Hanya, langkah ini jangan sampai menjadi alasan untuk membatasi layanan utama bagi peserta jaminan.
Agar tidak menimbulkan kekisruhan, sudah selayaknya BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan mendetailkan jenis pelayanan kesehatan yang akan dikenai ketentuan urun biaya tersebut. Peserta yang selama ini menerima bantuan iuran semestinya tidak dikenai skema urun biaya. Pasien JKN harus dididik mengenai pelayanan yang tidak dijamin.
Pemerintah juga harus mengawasi dan menghentikan praktik urun biaya tidak resmi. Sudah menjadi rahasia umum, urun biaya siluman dikenakan kepada peserta JKN. Fasilitas kesehatan meminta biaya tambahan kepada peserta dengan dalih tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan atau obatnya tidak tersedia. Semua kelompok peserta, termasuk orang miskin ataupun peserta penerima bantuan iuran, mesti menanggung biaya tambahan ini.
Pro-kontra perihal urun biaya dalam program jaminan kesehatan tak perlu terjadi bila pemerintah konsisten menerapkan prinsip asuransi. Sejak program ini bergulir, pemerintah seharusnya menyadarkan masyarakat bahwa sistem jaminan kesehatan nasional ini pada dasarnya adalah skema asuransi. Selain berhak mendapat jaminan pembiayaan, masyarakat punya kewajiban membayar premi yang masuk akal. Jika tidak, sampai kapan pun penerimaan BPJS tak akan pernah cukup untuk menutup seluruh biaya dokter, obat, dan pelayanan rumah sakit.
Persoalan muncul ketika pejabat dan politikus membicarakan skema jaminan iniatas nama politikseolah-olah sebagai fasilitas kesehatan dari negara. Maka, timbul kesan BPJS Kesehatan harus menanggung seluruh biaya pengobatan dan perawatan semua peserta, tanpa kecuali. Padahal skema asuransi ada batasnya. Pemahaman yang keliru ini harus diluruskan.
Membagi beban dengan pasien, dengan cara menaikkan iuran, merupakan jalan keluar yang logis untuk mengatasi penyakit kronis BPJS Kesehatan. Persoalannya, besaran premi peserta BPJS Kesehatan hingga kini lebih rendah dari perhitungan aktuaria. Hingga 2017, rata-rata nilai iuran yang disetor setiap peserta per bulan lebih rendah Rp 5.625 dibandingkan dengan biaya klaim untuk melayani mereka. Pemerintah tidak jadi menaikkan iuran karena khawatir timbul kegaduhan. Padahal seharusnya besaran iuran ditinjau setiap dua tahun.
Pemerintah harus rasional. Skema urun biaya hanyalah obat jangka pendek yang tak bisa mengatasi defisit secara berkelanjutan.