Insiden pemindahan jenazah dari satu permakaman ke permakaman lain akibat perbedaan pilihan calon anggota legislatif di Provinsi Gorontalo sungguh di luar akal sehat. Tragedi kemanusiaan tersebut tidak seharusnya terjadi jika masyarakat menyadari bahwa perbedaan pandangan dan pilihan dalam politik adalah hal biasa sehingga tidak perlu menimbulkan permusuhan.
Pemindahan jenazah itu terjadi di Desa Toto Selatan, Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, pekan lalu. Keluarga almarhum Masri Dunggio dan almarhumah Sitti Aisya Hamzah memindahkan jenazah mereka ke pekuburan lain. Pangkal soalnya, pihak ahli waris enggan memilih calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bone Bolango yang didukung pemilik lahan permakaman, Iriani Manoarfa. Perselisihan yang muncul sejak Desember lalu itu membuat pemilik lahan pekuburan meminta keluarga almarhum memindahkan jenazah Masri dan Sitti ke permakaman lain. Masri sudah dikebumikan di makam itu selama 26 tahun, dan Sitti setahun.
Kejadian itu bermula dari perselisihan ihwal pilihan calon legislator antara keluarga almarhum dan pemilik lahan makam, Awono. Salah seorang anggota keluarga almarhum, Abdul Salam Pomontolo, mengaku Awono berulang kali memaksa keluarganya memilih Iriani, calon legislator Partai NasDem yang masih kerabat Awono. Jika tidak, keluarga almarhum diminta membongkar makam dan memindahkan jenazah Masri dan Sitti. Keluarga almarhum menolak memilih Iriani karena punya pilihan lain. Upaya mediasi telah dilakukan polisi dan pemerintah desa, tapi tak kunjung menemui kata sepakat. Keluarga almarhum akhirnya membongkar kedua makam itu dan memindahkan jenazahnya ke permakaman lain.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman memang tidak mengatur soal pemindahan jenazah dari pekuburan yang merupakan tanah milik perseorangan. Peraturan itu hanya menegaskan penyediaan permakaman umum bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongannya. Namun tidaklah etis jika perselisihan politik menyeret-nyeret orang yang sudah meninggal.
Peristiwa ini mengingatkan kita akan kejadian dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, dua tahun silam. Di antara hiruk-pikuk kabar kibul, isu agama, dan politik identitas, muncul spanduk di sejumlah masjid di Ibu Kota yang berisi larangan menyalatkan jenazah pendukung calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Maraknya isu agama membuat suhu politik di Jakarta memanas. Isu negatif yang dimunculkan secara terus-menerus terbukti telah membelah masyarakat ke dalam dua kelompok. Di Jakarta Pusat, seseorang yang meninggal nyaris telantar tak dikuburkan akibat perbedaan pandangan ini.
Segala bentuk pemaksaan dilarang dalam pemilihan umum. Konstitusi melindungi hak segenap warga negara untuk memilih dan dipilih. Demi melaksanakan haknya tersebut, seseorang harus terbebas dari intervensi, intimidasi, dan tindak kekerasan yang menimbulkan rasa takut. Memakai kekerasan ataupun menghalangi penggunaan hak seseorang untuk memilih merupakan tindak pidana. Sanksinya tidak main-main. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan sanksi bagi tindakan curang tersebut bisa berupa kurungan penjara dan denda.