Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Disparitas Tuntutan dan Hukuman Kasus Korupsi

image-profil

image-gnews
JPU KPK menyusun berkas surat tuntutan setebal 1.211 halaman terdakwa Gubernur Jambi nonaktif, Zumi Zola Zulkifli, sebelum sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis, 8 November 2018. TEMPO/Imam Sukamto
JPU KPK menyusun berkas surat tuntutan setebal 1.211 halaman terdakwa Gubernur Jambi nonaktif, Zumi Zola Zulkifli, sebelum sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis, 8 November 2018. TEMPO/Imam Sukamto
Iklan

Maqdir Ismail
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia

Dalam praktik hukum sekarang, ada disparitas tuntutan dan hukuman dalam kasus korupsi. Ini berlaku baik dalam jenis perkara yang sama tapi tidak berhubungan maupun perkara yang sama dan berhubungan karena didakwa secara bersama-sama. Bahkan disparitas terjadi dalam pasal yang digunakan.

Contoh perkara yang sama jenis perbuatannya tapi berbeda pasalnya adalah perkara Gubernur Jambi Zumi Zola dan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti. Mereka sama-sama diduga menerima uang dari pihak ketiga dengan jumlah yang sangat berbeda, tapi pasal yang disangkakan berbeda.

Zumi Zola dituduh menerima uang sebesar Rp 40,477 miliar, US$ 173 ribu, dan Sin$ 100 ribu, serta sebuah mobil Alphard. Dia dibidik dengan Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yaitu menerima gratifikasi, dan Pasal 5 ayat 1 UU Tipikor, yakni sebagai pemberi suap. Dia diancam hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Pengadilan memvonisnya dengan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Adapun Ridwan Mukti dituduh menerima Rp 1 miliar. Dia dikenai Pasal 12 huruf a atau huruf b UU Tipikor atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman kedua pasal terakhir ini sama, yaitu maksimal 20 tahun. Pengadilan kemudian menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp 400 juta.

Baca Juga:

Zumi lebih beruntung. Meski dia didakwa melakukan dua perbuatan pidana, karena perbuatan itu sejenis, maka berdasarkan Pasal 65 KUHP dia hanya akan dikenai satu perbuatan pidana.

Mengapa Zumi dituntut dan dihukum dengan hukuman yang lebih ringan padahal uang yang diterimanya empat puluh kali lebih besar dibandingkan dengan yang didapat Ridwan Mukti? Tentu akan ada yang menjawab bahwa ini adalah keyakinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan hakim.

Bagaimana bisa jawabannya begitu? Dalam perkara Zumi Zola, ada pengakuan dari tersangka dan terdakwa. Sedangkan dalam perkara Ridwan Mukti, istrinya mengaku meminta dan menerima uang tapi tidak mengakui keterlibatan suaminya. KPK dan hakim menganggap bahwa Ridwan Mukti terbukti meminta uang dan mengetahui istrinya menerima uang.

Contoh perkara yang terdakwanya didakwa bersama-sama adalah perkara Anang Sugiana Sudihardjo serta perkara Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung. Anang, sebagai Direktur Utama PT Quadra Solution, dituduh menerima keuntungan Rp 79 miliar dalam kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Anang dituntut dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Hakim akhirnya menghukum Anang sesuai dengan tuntutan jaksa.

Dalam perkara Irvanto dan Oka, keduanya didakwa dengan pasal yang sama dengan Anang tapi dengan ancaman hukum masing-masing 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Hakim lalu memvonis mereka masing-masing dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Disparitas tuntutan dan hukuman ini betul-betul terjadi, karena baik penyidik maupun penuntut umum selalu meminta Irvanto dan Oka Masagung mengaku telah menyerahkan uang kepada Setya Novanto. Dalam perkara Anang, tidak ada pengakuan secara jelas tentang penerimaan uang oleh Setya Novanto. Hanya, dikemukakan ada sejumlah uang yang merupakan pinjaman Johannes Marliem kepada Oka yang dianggap untuk Setya, dan ada juga pinjaman Oka yang dianggap diserahkan kepada Setya. Namun, dalam keterangan Anang, pinjaman Oka telah dikembalikan. Sementara itu, dalam perkara Irvanto dan Oka, secara tegas diberikan penyangkalan terhadap penyerahan uang kepada Setya.

Dalam perkara Anang serta perkara Irvanto dan Oka tidak ada perbedaan pasal yang didakwakan. Yang berbeda adalah pihak yang diuntungkan. Dalam perkara Anang, dia mengaku diuntungkan oleh proyek e-KTP sebesar Rp 79 miliar, sedangkan Irvanto dan Oka tidak mengaku telah menguntungkan Setya Novanto.

Akibat nyata dari pengakuan ini, Anang dituntut dan dihukum jauh lebih ringan meskipun perusahaannya mendapat keuntungan yang sangat besar. Nasib berbeda dialami Irvanto dan Oka, yang dihukum dengan hukuman lebih tinggi dan tanpa mendapat keuntungan.

Perbandingan keempat putusan ini menjadi bukti bahwa pengakuan bersalah dianggap lebih penting daripada proses hukum yang benar sesuai dengan bukti persidangan. Proses hukum yang terjadi sekarang membenarkan dugaan bahwa peradilan pidana kini begitu bergantung pada pengakuan, bukan sistem peradilan, dan keyakinan hakim berasal dari pengakuan bersalah. Ini bermakna bahwa pada hakikatnya proses peradilan itu bukan untuk menegakkan hukum dan mencari keadilan, tapi proses pengakuan dosa dan pengakuan bersalah, yang kemudian dengan pengakuan itulah putusan dijatuhkan.

Sudah saatnya disparitas antara tuntutan dan hukuman dalam perkara korupsi tidak digantungkan pada pengakuan. Tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim adalah memproses perkara menurut hukum, bukan atas kehendak aparat penegak hukum. Tidak selayaknya hakim didorong memutus perkara yang tidak sesuai dengan hukum.

Terdakwa yang dibuat mengaku bersalah atau menjadi justice collaborator dapat diberi kemudahan atau keringanan hukuman. Namun keringanan hukuman itu tidak boleh melebihi batas kepatutan dengan mempertimbangkan jumlah dari hasil tindak pidana yang diterima dan digunakan.

Yang lebih penting lagi adalah kedudukan justice collaborator, yang perlu diberikan secara benar dan menurut hukum. Mereka juga harus melalui pertimbangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.


"Satu tahun saya di Pemprov DKI kebanyakan ingin melimpahkan semua keputusan kepada Gubernur."

- Nama Pembisik
Menteri Kesehatan di Jakarta, Kemarin

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.