Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Merawat Akal Sehat di Tahun Politik

image-profil

image-gnews
Iklan

Wasisto Raharjo Jati
Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI

Panggung politik digital di dunia maya Indonesia selama 2018 semakin menunjukkan adanya eskalasi narasi intoleransi yang semakin menguat. Kondisi ini sebenarnya mirip dengan situasi pada 2017 saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta berlangsung dan media sosial menjadi ajang pertempuran. Hanya, kini pertempuran tersebut tidak lagi menyoal teologi-ukhrawi, tapi lebih pada perebutan materi. Hal tersebut terindikasi dari maraknya sikap bias melihat dan mencampuradukkan agama dan politik dalam panggung kampanye pemilihan presiden 2019.

Baca Juga:

Di satu sisi, amalgamasi agama dan politik di ranah dunia maya telah mengaburkan rasionalitas, yang berujung pada pemujaan figur. Di sisi lain, amalgamasi politik dan agama tersebut justru berujung pada sikap irasionalitas dalam membaca realitas. Gambaran seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dimabukkan dengan masalah identitas tapi alpa merawat rasionalitas.

Gejala militansi terhadap agama bukan tanpa sebab. Hal ini akibat minimnya keinginan masyarakat untuk saling bernegosiasi dan peduli terhadap perbedaan. Akibatnya, terjadi benturan kepentingan satu sama lain, yang pada akhirnya menjadikan isu politik sebagai senjata. Agama menjadi senjata yang sekarang tren, dan ini bisa dilihat dari upaya untuk membentengi diri dari kalangan konservatif serta upaya menaikkan diri sebagai kalangan mayoritas. Dalam berbagai sudut pandang, keduanya bertaut, yang pada akhirnya esensinya sama: siapa yang paling lama duduk di tampuk kekuasaan.

Masyarakat Indonesia pada dasarnya sadar politik tapi awam informasi politik. Kondisi ini dimaksimalkan dengan semakin merebaknya fitnah, ujaran kebencian, dan berita bohong di ruang publik. Masyarakat menjadi korban propaganda, yang menjadikan mereka alat untuk meraih kekuasaan elite.

Sebenarnya, praktik politik digital di arena media sosial warganet Indonesia awalnya berlangsung secara dinamis pada 2017. Namun hal tersebut berubah ketika kepentingan politik mulai menyusupi arena diskusi netizen. Hal yang pada mulanya masalah pribadi ditarik menjadi soal teologi. Hal yang dasarnya soal pemenuhan materi ditarik ke urusan politik. Uniknya lagi, labelisasi sosial kemudian berlaku dalam percakapan di media sosial antara pendukung A dan pendukung B. Keributan itu hampir menjadi menu tiap hari yang berujung pada aksi-aksi kekerasan verbal dan nonverbal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam konteks ini, kita melihat bahwa euforia kebebasan masyarakat Indonesia terhadap peranti digital semakin lama semakin terdistorsi. Hal yang semula sebagai ajang eksistensi dan artikulasi, kini berkembang menjadi ajang filterisasi sosial. Akal sehat tidak lagi digunakan karena sudah terdogma dengan berita dan informasi tidak akurat sehingga menciptakan penggiringan opini, entah itu baik ataupun positif.

Masyarakat sangat gemar terpengaruh narasi ketertindasan mayoritas, yang sebenarnya masih menunjukkan mental intoleran. Hal itu bisa saja memicu eksklusivitas sosial di kalangan masyarakat lain, yang membuat tidak adanya jalinan negosiasi di antara sesama orang Indonesia. Padahal, sejatinya, negosiasi itu menjadi akar masyarakat Indonesia, yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Spirit tersebut telah berganti dengan semakin intensnya penyempitan perspektif masalah pada aksi tagar. Munculnya tagar tidak berarti memberikan solusi baru, tapi malah menciptakan kompetisi. Pada akhirnya, mekanisme musyawarah untuk menghasilkan konsensus sekarang semakin dimaknai menjadi ajang pengumpulan massa terbanyak sebagai nilai kebenaran.

Apalagi kini menggejala isu politik identitas. Sebenarnya, politik identitas itu muncul kalau ada ketertindasan yang dirasakan kalangan minoritas. Namun, dalam konteks Indonesia, justru yang mayoritas merasa menjadi minoritas dan ingin memainkan isu ketertindasan. Pemutarbalikan posisi dan fakta ini jelas mengandung kepentingan politik. Ironisnya, aktor-aktor mayoritas bermental minoritas itu abai terhadap dampak jangka panjang dan menghamba pada kekuasaan yang semu. Ujungnya jelas: isu akan digoreng dan mobilisasi massa.

Menjelang pemilihan presiden, mengedepankan sikap waras, baik pikiran maupun hati, menjadi mutlak. Terlebih lagi para elite, yang kerap menjadikan masyarakat semakin terpolarisasi. Salah satu cara menangkal amalgamasi agama dan politik adalah mengedepankan kampanye programatik, yang dipertarungkan adalah program dan gagasan, bukan sindiran berbasis identitas. Kandidat harus memulai langkah ini dengan menanggalkan identitasnya sebagai politikus yang ideolog, bukan yang demagog, yang senantiasa memainkan isu penistaan dan ketertindasan untuk meraih suara.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

25 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.