Banyak gambar dan tulisan yang kita lihat di bagian belakang truk yang lewat yang kocak, yang erotis, yang alim, yang main-main. Tapi ada satu yang istimewa yang saya lihat fotonya.
Isinya sederet kalimat dalam bahasa Jawa (dengan ejaan yang salah yang saya perbaiki):
POLOS DIBULLY
APIK DISINDIRI
ELEK DIRASANI
KABEH DICACATI
JANE LAHIRMU
DIAZANI
OPO DIPISUHI
Kalimat itu tampaknya ditujukan kepada orang yang hanya bisa melihat yang negatif pada orang lain. Ia merisak orang yang "polos", innocent. Ia menyindir orang yang berbuat baik. Ia mencemooh yang buruk. Tak ada yang tak dicela.
Sepotong pertanyaan kemudian ditulis di ujung: "Sebenarnya, ketika kamu lahir, orang tuamu mengucapkan Allahu Akbar atau memaki"?
Saya ingat, ketika anak saya lahir, saya bisikkan azan ke kupingnya. Saya tak berharap bayi itu mendengaratau "Allahu Akbar" itu akan membekas dalam kesadarannya yang dini. Saya hanya ingin menyatakan bahwa kedatangannya menakjubkan tapi juga membuat saya miris. Di saat itu, saya merasa ada sesuatu (meskipun kata "sesuatu" di sini tak tepat) yang begitu dahsyat, begitu misterius, yang membayangi.
Dari mana si bayi dan kehidupan datang? Apa nasib yang menantinya?
Saya pernah kenal sepatah kata dari kalangan sufi, khususnya dalam kitab-kitab Ibnu ‘Arabi: "tajalli". Saya bukan pengikut tasawuf, tapi saya merasa, pada tiap saat kelahiran bayi, Tuhan yang Maha-Agung sejenak "menyatakan diri" (tajalla) dalam alam yang terbatas. Semacam isyarat.
Memang, kemudian ilmu-ilmu menjelaskan bagaimana ovum dibuahi dan seterusnya, tapi saya tak bisa menafikan apa yang terasa ajaib menyaksikan bayi di hari pertama hidupnya.
Saya bukan Jakub dalam novel Milan Kundera, Farewell Waltz. Ia bekas tahanan politik di Cekoslovakia yang pernah bersiap dengan pil bunuh diri jika harapan tak ada lagi. Bagi Jakub, memutuskan untuk punya anak berarti meyakini hidup "begitu bagus dan layak diduplikasi", sementara ia tak 100 persen percaya "manusia adalah makhluk yang menakjubkan dan aku ingin mereproduksinya".
Ya, saya bukan Jakub. Bagi saya bayi bukanlah "reproduksi". Bayi, ibarat sebuah sajak baru, bukan pengulangan. Sang ibu menjalani partus dengan sakit, gawat antara kecemasan dan harapan, genting antara hidup dan kematian.
Tapi Jakub tak sendiri. Tampaknya ada orang-orang yang menganggap kelahiran hanya duplikasi dan manusia membosankan: merekapara mata muramyang selalu melihat buruk orang lain.
Bagi mata muram itu, tiap kelahiran berarti datangnya seorang lain yang sia-sia. Hidup dengan oknum seperti itu seperti tinggal di neraka. "Neraka, itulah orang-orang lain."
L’enfer, c’est les autres. Kalimat itu, pernah terkenal, diucapkan dalam lakon Sartre, Huis Clos ("Pintu Tertutup"). Yang mengucapkannya Garcin, salah satu dari tiga tokoh yang dalam lakon ini bersama-sama dihukum di neraka.
Tapi neraka itu sebuah kamar tanpa pintu keluar. Di sana Garcin, Inez, dan Estella harus bersama, dan selama itu mereka saling berdusta, berpura-pura, bernafsu, kecewa, marah, danbersitegangsama sekali tak bersahabatdan tak bisa meniadakan orang yang tak disukai.
Bagi Sartre (yang tak percaya akhirat), seperti itu pula hidup di dunia. Manusia tatap-menatap. Tiap tatapan mengenali, dan kenal berarti berpegang pada satu identitas, dengan memberinya label dan nama. Tiap tatapan menilai, diutarakan atau tidak. Yang ditatap pun jadi obyek: dicap dan ditimbang. Dan jika kita sadari bahwa manusia adalah makhluk yang terus-menerus merasa ditatap (juga dalam mimpi), ketegangan dan kecemasan "aku-jadi-obyek" membuat hidup tak bisa disyukuri.
Mungkin itulah ressentiment: sikap memandang orang lain dengan getir. Perbedaan berarti kalah atau menang. Yang merasa kalah pun merasa jadi korbandan sebagai kompensasinya, mengangkat korban, yakni diri sendiri, sebagai golongan suci.
Dari sana mereka menatap dunia: hanya najis. Buruk sangka, paranoia, cemburu, dan dengki membentuk cara mereka melihat apa saja.
POLOS DIBULLY
APIK DISINDIRI
ELEK DIRASANI
KABEH DICACATI
Dari sanalah agaknya kebencian bermula, yang hari-hari ini berkelindan dengan politik. Saya tak yakin, politiklah yang memprodusir kebencian. Saya lebih yakin kebencian itulah yang mencari mangsanya dengan politik. Hari-hari ini nyaring kata-kata Simonini, tokoh yang keji dan julig dalam novel Pekuburan Praha Umberto Eco: "Odi ergo sum. Aku membenci maka aku ada."
Membenci manusia lain sama dengan memasungnya untuk dimaki dan dihajar. Tapi niscayakah kebencian itu, dan haruskah "neraka adalah orang lain"?
Saya kira tidak. Ada suara azan pada datangnya manusia: melihat, selintas, bayang-bayang yang Maha-Akbar di tiap wajahdan di "wajah" itu, dalam "diri" itu, tersimpan misteri yang tak bisa disimpulkan secara sewenang-wenang.
Saya dapatkan terjemahan kata-kata Ibnu ‘Arabi dalam Futûhât al-Makkiyya:
Diri adalah samudra tanpa pantai. Kita tak akan habis-habisnya merenungkannya di dunia ini dan kelak, sebab ia adalah tanda terdekat, dalil dari Tuhanmu….
Goenawan Mohamad