Pemerintah mesti bersikap terbuka dalam melihat hasil riset yang menunjukkan penurunan iklim investasi sektor hulu minyak dan gas bumi Indonesia. Lembaga riset asal Kanada, Fraser Institute, dalam laporan bertajuk “Global Petroleum Survey 2018”, menempatkan Indonesia dalam kelompok 10 negara dengan iklim investasi terburuk. Dalam hasil survei yang dirilis pekan lalu itu, disebutkan 256 responden dari kalangan direktur eksekutif, manajer, hingga pakar industri hulu migas memberikan indeks persepsi 47,6 dari skala 100 buat Indonesia.
Walau meningkat dari tahun lalu yang sebesar 35,02, skor itu belum mampu memindahkan Indonesia dari grup terbawah. Buruknya hasil survei ini sejalan dengan rendahnya realisasi investasi migas. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melaporkan, sepanjang 2018, realisasi investasi migas sebesar US$ 12,5 miliar, di bawah target US$ 12,6 miliar. Meski realisasi 2018 bertumbuh ketimbang 2017 yang senilai US$ 11,9 miliar, kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menarik investasi migas jauh dari memuaskan. Pada 2013, investasi migas masih US$ 20,384 miliar. Sedangkan pada 2014 turun menjadi US$ 20,38 miliar. Adapun pada 2015 senilai US$ 15,34 miliar, dan pada 2016 tersisa US$ 11,5 miliar.
Terus anjloknya investasi hulu migas mengkhawatirkan, mengingat semakin tingginya konsumsi energi fosil di Tanah Air. Konsumsi harian bahan bakar minyak saat ini ditaksir 1,6 juta barel per hari, sementara produksi hanya 800 ribu barel per hari. Sisanya harus ditutupi impor.
Pemerintah tidak bisa selamanya mengkambinghitamkan pelemahan harga minyak mentah sebagai faktor pelemahan investasi. Benar, harga minyak pernah merosot dari sekitar US$ 100 per barel pada 2013 menjadi sekitar US$ 35 per barel pada 2015. Namun harga minyak Indonesia 2018 telah naik menjadi US$ 67,47 per barel.
Ketimbang membantahnya dengan menyebutnya tidak valid, pemerintah mesti memperhatikan temuan Fraser Institute. Lembaga ini menyebutkan hal yang menjadi perhatian para pelaku bisnis migas adalah kegagalan pemerintah dalam membuat regulasi investasi yang memberikan kepastian bagi investor.
Salah satu keberatan investor adalah aturan bonus tanda tangan saat perpanjangan kontrak bagi hasil. Dalam jangka pendek bonus itu menambah penerimaan negara, tapi dalam jangka panjang menyurutkan minat investor. Pemerintah mesti memperbaiki skema bonus supaya menguntungkan kedua belah pihak.
Persoalan lainnya adalah masih rumitnya birokrasi perizinan investasi. Kementerian Koordinator Perekonomian pada 2017 pernah mengakui, jumlah perizinan di sektor migas mencapai 373 macam di 19 kementerian/lembaga. Program deregulasi pemerintah dipandang belum tepat sasaran dan tidak menyentuh akar masalah. Mayoritas izin yang dipangkas hanya administrasi perizinan usaha. Sementara itu, perizinan eksplorasi dan eksploitasi belum tersentuh.
Supaya perizinan lancar, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan menugasi satu institusi untuk mewakili kontraktor migas mengurus seluruh perizinan. Hal lain yang perlu dilakukan adalah mempercepat penyelesaian revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yang sudah masuk Program Legislasi Nasional sejak 2011. UU Migas yang baru harus membuat sistem kontrak, perpajakan, kelembagaan, dan perizinan yang ramah bagi investor.