PEMERINTAH perlu mendorong dan menyediakan fasilitas bagi kajiankajian yang lebih dalam soal Gunung Anak Krakatau. Studi terakhir menyimpulkan gunung api di perairan Selat Sunda itu masih menyimpan potensi bahaya. Ancaman terbesarnya adalah tsunami yang dipicu aktivitas vulkanis, sebagaimana pada Desember lalu. Meski hanya menimbulkan getaran berkekuatan 3,4 magnitudo, letusan tersebut mengakibatkan longsor di laut yang diduga memicu gelombang pasang.
Anak Krakatau sebenarnya sudah batukbatuk sejak siang pada hari itu. Sayangnya, masyarakat setempat tidak menganggapnya sebagai tanda bahaya. Sistem peringatan dini tak berfungsi baik. Maka, ketika air bah setinggi lebih dari dua meter menerjang malam itu, banyak penduduk dan wisatawan yang tengah berada di pesisir pantai Banten dan Lampung terseret. Lebih dari 430 orang tewas.
Menengok kembali kronologi tsunami BantenLampung, terlihat jelas ketidaksiapan publik dan instansi pemerintah. Masyarakat tidak dipersiapkan menghadapi potensi bahaya hidup di pesisir dan di dekat gunung api. Sedangkan pemerintah tampak linglung karena minim koordinasi.
Kondisi itu mesti diakhiri dengan cara mengumpulkan dan membuat riset mendalam mengenai Anak Krakatau dan daerah sekitarnya. Pengetahuan mendalam memungkinkan kita membangun sistem deteksi dini dan mitigasi yang tepat untuk meminimalkan akibat buruk bencana.
Mengenai potensi tsunami, pada 2012, ahli geologi dari University of Oregon, Amerika Serikat, Thomas Giachetti, beserta timtermasuk Budianto Ontowirjo dari Indonesiamembuat simulasi potensi longsor di tebing barat daya Anak Krakatau. Kesimpulan mereka ketika itu dianggap fenomenal: jika terjadi, hal tersebut dapat menciptakan gelombang besar tsunami di sekitar Selat Sunda.
Pemodelan seperti yang dibuat Thomas Giachetti dan tim ini perlu diperbanyak karena akan sangat membantu dalam memperkirakan potensi bencana akibat aktivitas Anak Krakatau. Mengenai longsor, meski kondisinya sekarang berubah, potensinya tak berkurang. Penelitian terakhir pada 3 Januari lalu menemukan dua retakan baru di tubuh Anak Krakatau.
Mitigasi prabencana membutuhkan peta menyeluruh wilayah rawan di sepanjang pesisir Banten dan Lampung. Peta ini penting untuk menata permukiman dan fasilitas lainterutama sarana wisata, mengingat kawasan itu dikenal sebagai tempat pelesiragar selaras dengan sistem penanggulangan bencana.
Tentu saja riset dan ketersediaan data bukan satusatunya modal. Dalam kasus tsunami BantenLampung, ketidakbecusan mitigasi prabencana juga diakibatkan oleh koordinasi yang lemah di antara lembagalembaga berwenang. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) saling lempar tanggung jawab. PVMBG, yang bertugas mengawasi gunung api aktif dan memiliki data aktivitas Anak Krakatau, menyebutkan peringatan dini tsunami merupakan kewenangan BMKG. Sebaliknya, BMKG menyalahkan PVMBG karena lembaga itu tidak melaporkan aktivitas Anak Krakatau kepadanya.
Kekacauan koordinasi juga disinyalir turut menjadi sebab tak kunjung terpasangnya alat pendeteksi gelombang tsunami (buoy) di sekitar Anak Krakatau. Padahal fungsi buoy sebagai alarm tsunami sangat vital. Berkaca pada peristiwa lalu, gelombang besar air laut baru tiba di pesisir Selat Sunda 3060 menit setelah terbentuk. Dengan adanya buoy dan persiapan yang baik, interval waktu tersebut memungkinkan penduduk dievakuasi.
Pemerintah dapat mempertimbangkan peningkatan peran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Di Amerika Serikat, misalnya, dengan adanya Federal Emergency Management Agency (FEMA), lembaga semacam BNPB, tanggung jawab atas mitigasi prabencana dan koordinasi penanganan pascabencana berada dalam satu atap. Saat ini, BNPB, yang dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, hanya berfokus pada respons bencana. Selain BNPB, terdapat PVMBG (di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) dan BMKG (lembaga pemerintahan nondepartemen langsung di bawah presiden).
Dengan wewenang dan tanggung jawab yang diperluas, BNPB juga dapat mengambil peran dalam edukasi publik. Masyarakat di daerahdaerah rawan, seperti di pesisir pantai Banten dan Lampung, membutuhkan informasi yang tepat mengenai potensi bencana dan langkahlangkah penanggulangannya.