Setelah lama ditunggu-tunggu publik, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memerintahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pada pertengahan Desember 2018 lalu. Hakim Konstitusi sepakat aturan batas minimum usia perkawinan dalam peraturan itu harus diubah, namun menyerahkan pada DPR untuk menentukan berapa batas usia yang tepat. Parlemen diberi waktu maksimal tiga tahun untuk merampungkan revisi UU Perkawinan ini.
Putusan MK ini tak ayal membuka ruang diskursus baru yang tentu diharapkan lebih rasional terkait isu ini. Banyak pihak yang semula tak bersuara, akhirnya ikut bicara soal dampak buruk yang bisa ditimbulkan dari perkawinan di bawah umur. Kementerian Agama bahkan terang-terangan menyebut bahwa usia ideal perkawinan adalah minimal 21 tahun. Perkawinan antara pasangan di bawah usia itu disebut-sebut lebih banyak menimbulkan mudarat atau kerugian.
Saat ini, kita memang hidup di dunia yang masih mengizinkan perkawinan anak. Persentase perkawinan anak lebih banyak di negara berkembang karena salah satu faktor pendorong utama perkawinan anak adalah kemiskinan.
Meski mengalami penurunan dalam dua dekade terakhir, angka perkawinan anak di Indonesia tercatat masih tinggi. Berdasarkan data UNICEF pada 2016, persentase perkawinan anak di Indonesia menduduki peringkat ke-7 dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2015 menunjukkan persentase perkawinan anak usia 10-15 tahun masih sebesar 11 persen. Sedangkan perkawinan anak usia 16-18 tahun sebesar 32 persen. Ini artinya satu dari sembilan perempuan Indonesia dipaksa menikah ketika usianya masih anak-anak (di bawah 18 tahun).
Apa sebabnya? Banyak faktor tentu berpengaruh, namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor kunci dalam mendorong juga mencegah perkawinan anak. Pendidikan bisa mempengaruhi preferensi dan sikap seseorang terhadap perkawinan. Seseorang dari rumah tangga miskin yang cenderung berpendidikan rendah biasanya melihat perkawinan sebagai sesuatu yang menguntungkan secara ekonomi.
Itu jelas salah kaprah. Nyatanya, perkawinan anak tidak pernah meningkatkan status ekonomi sebuah rumah tangga dalam jangka panjang. Rata-rata perempuan yang menikah ketika masih anak-anak justru tidak bisa berkontribusi banyak bagi ekonomi keluarganya. Mereka justru menjadi beban baru untuk keluarga. Data Susenas tahun 2015 menunjukkan bahwa 80 persen perempuan yang menikah ketika masih anak-anak, hanya memiliki ijazah SMP atau SD. Banyak dari remaja perempuan yang sudah menikah, putus sekolah karena tanggung jawab rumah tangga baru mereka.
Tak hanya itu. Rumah tangga pasangan yang menikah dalam usia anak, juga rentan perceraian. Data BPS menunjukkan tingkat perceraian pada perempuan yang melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun lebih tinggi dibandingkan perempuan yang menikah di usia dewasa. Hal ini jelas berdampak pada keadaan ekonomi keluarganya karena biasanya perempuan yang bercerai akan kembali menjadi beban orang tuanya, berikut dengan anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinannya.
Dampak pada anak yang dilahirkan orangtua yang menikah terlalu dini, juga sungguh memprihatinkan. Studi menunjukkan kehamilan selama masa remaja banyak dikaitkan dengan angka berat badan lahir rendah (BBLR), kelahiran prematur, penyakit pernapasan, dan trauma kelahiran pada anak, serta komplikasi dan kematian bayi yang lebih tinggi.
Tidak hanya soal angka kematian, perkawinan anak juga akan berdampak pada kualitas anak-anak yang dilahirkan. Anak hasil kehamilan remaja cenderung bergizi buruk, stunting, dan kurang berpendidikan. Kondisi inilah yang secara tidak langsung mempengaruhi kemampuan mereka untuk bersaing di bidang ekonomi.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas California menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara perkawinan anak dan kemiskinan. Ada kemungkinan sampai 30 persen, pelaku perkawinan anak akan berakhir miskin ketika dewasa. Di Indonesia, hal ini diperkuat dengan data UNICEF yang menunjukkan bahwa perkawinan anak menyebabkan kerugian negara miliaran rupiah, atau setara 1,7 persen dari PDB Indonesia di tahun 2014.
Maka dari itu, jika usia perkawinan anak bisa dinaikkan dua tahun saja, dari 16 tahun menjadi 18 tahun (untuk perempuan), maka perubahan ini akan menjadi determinan penting dalam usaha pencapaian penurunan angka kematian ibu dan bayi yang signifikan.
Sudah saatnya DPR dan pemerintah segera merevisi UU perkawinan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Revisi ini sungguh urgen dan seharusnya tak perlu menunggu sampai tenggat tiga tahun yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi berakhir.
Ke depan, setelah UU Perkawinan direvisi dengan batas usia menikah yang baru, pemerintah harus tegas menegakkan aturan itu. Pemerintah juga harus mulai merangkul semua pihak untuk memikirkan dampak buruk perkawinan anak. Urusan ini seyogyanya bukan hanya domain Kementerian Kesehatan atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Agama juga bisa turun tangan sebab dalam banyak kasus, pasangan di bawah umur tetap bisa menikah apabila mendapatkan dispensasi pengadilan agama. Penyamaan persepsi aparatur pemerintah dan penegak hukum soal batas usia pernikahan yang sehat, amat dibutuhkan.
Masyarakat juga bisa berperan aktif dalam mencegah angka perkawinan anak semakin meningkat. Pengurusan izin menikah melibatkan banyak pihak dari mulai pejabat RT/RW, kelurahan, institusi keagamaan (gereja, KUA, dll), bahkan Puskesmas. Untuk itu, seluruh pihak harus menjalankan perannya masing-masing, untuk mencegah pasangan di bawah umur melaksanakan perkawinan. Mereka yang diperbolehkan menikah harus mengerti benar tentang apa yang akan mereka hadapi ke depan setelah menikah, tanggungjawab dan peran mereka sebagai keluarga dalam membesarkan anak dan kontribusi mereka untuk masyarakat.
Melihat betapa besar dampak perkawinan anak pada perekonomian nasional, sudah seharusnya mengakhiri perkawinan anak menjadi prioritas kerja Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Meningkatkan usia perkawinan dan menunda kelahiran saat remaja sudah terbukti memiliki efek positif bagi perekonomian dan perbaikan kualitas sumber daya manusia ke depannya. (*)
Ika Kartika Febriana adalah Knowledge Management Officer di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI dan Aghnia Jolanda Putri adalah dokter lulusan Universitas Andalas