Putu Setia
@mpujayaprema
Nusantara ini negeri bahari. Kita punya laut luas sekali. Di laut kita jaya, begitu ada ungkapan optimistis. Tapi dari laut pula kita dapat bencana. Salah satunya disebut tsunami.
Tsunami disebabkan oleh gerakan tanah di dasar laut yang ditandai dengan gempa. Itu sebabnya, setiap ada gempa, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) selalu memberikan peringatan, disusul tsunami atau tidak. Mereka punya alat mendeteksi hal itu, meski kadang pengumuman ada tsunami bisa dicabut. BMKG memang canggih, termasuk cara menyampaikan pesan ke penduduk. Semua sarana komunikasi dipakai.
Secanggih-canggihnya manusia, ternyata alam lebih canggih. Tsunami yang menimpa pesisir Pandeglang dan Lampung pekan lalu ternyata tidak didahului gempa. Itu karena ulah Anak Krakatau yang erupsi berkelanjutan menyebabkan ada longsoran material ke laut yang membuat air laut berontak dan lahirlah gelombang besar. Pasangnya air laut sempat diduga hanya karena ulah bulan yang sedang purnama.
Korban berjatuhan karena kejadiannya di malam minggu di sebuah pantai kawasan wisata. Ujug-ujug air laut menabrak begitu saja tanpa menunggu orang berbenah. Itu karena tak ada alat yang bisa mendeteksi tsunami akibat longsoran material gunung api.
Lalu kita pun sadar, andai kita punya pendeteksi tsunami untuk semua sebab, dan semuanya berfungsi bagus, maka korban bisa diminimalkan. Berapa yang dibutuhkan? Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan kita memiliki 22 alat deteksi tsunami yang dipasang sejak 2008. Jumlah itu memadai dengan catatan harus didukung paling tidak seribu sirene tsunami. Sirene ini yang menyebarkan informasi itu ke penduduk. Lalu berapa sirene sudah terpasang? Cuma ada 52 unit, jadi kurang lagi 948 unit.
Sirene tentu penting, namun masih bisa diakali dengan info berantai atau alat kuno seperti kentongan, misalnya. Atau cukup berteriak: ada tsunami... ada tsunami... Yang memprihatinkan, 22 alat pendeteksi tsunami ternyata sudah tidak aktif lagi sejak 2012. Astaga, bukankah sumbernya di sini?
Yang lebih mengenaskan, tidak aktifnya pendeteksi tsunami itu ada yang karena ornamennya dicuri, karatan sehingga tak berfungsi, baterainya mati, dan macam-macam. Intinya, pengawasan dan perawatannya kurang, sementara barang itu harganya lebih dari Rp 7 miliar per unit.
Kenapa perawatannya kurang? Ini susah-susah gampang untuk diurai. Semua orang tahu setiap bencana menimbulkan korban. Tetapi kapankah bencana itu datang? Tidak ada yang tahu. Tsunami yang melanda Aceh sudah 14 tahun berlalu. Kita tak berharap akan ada lagi tsunami di sana, namun pendeteksi tsunami, termasuk sirene di darat, tentu harus dipelihara. Dan itu membutuhkan biaya.
Maka, setiap kali ada bencana, kita baru teringat ada benda yang berfungsi mendeteksi tsunami. Saat tsunami melanda Palu dan Donggala, seluruh sirene tsunami diperiksa. Banyak yang tak berfungsi. Di Bali utara, sirenenya malah hilang. Tak jelas siapa yang menjaga. Sejak sirene dipasang, tak pernah berbunyi. Gempa besar di Bali utara terjadi pada 1976, dan itu pun tanpa tsunami. Gempa yang disertai tsunami di Bali terjadi pada 22 November 1815, 204 tahun yang lalu.
Seharusnya, merawat alat pendeteksi bencana diperlakukan seperti merawat akhlak, beramallah yang baik seolah-olah esok kita dipanggil Tuhan. Rawatlah alat pendeteksi itu seolah-olah esok bencana datang. Padahal dipanggil Tuhan dan datangnya bencana sesuatu yang tak pernah kita harapkan.